Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Para Nyai sampai PSK Impor

Kompas.com - 26/02/2016, 21:13 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Jakarta adalah salah satu kota metropolitan dunia yang resminya tak punya daerah "lampu merah".

Sekitar 10 tahun lalu, akhir 1999, pemerintah menutup lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak, satu-satunya tempat pelacuran yang boleh dibilang resmi.

Hingga akhir hayatnya, akhir 1999, Kramat Tunggak (Kramtung) merupakan lokalisasi paling akbar di Ibu Kota.

Luasnya mencapai sekitar 11 hektar dan dihuni tak kurang dari 1.600 pekerja seks komersial (PSK).

Meski lokalisasi yang dikelola Dinas Sosial DKI Jakarta itu sudah tinggal nama, tak berarti prostitusi juga ikut tumpas sama sekali.

Sampai hari ini kupu-kupu malam masih gampang ditemui di berbagai kompleks pelacuran gelap, seperti Pela-pela, Rawa Malang, dan Kalijodo.

PSK yang lebih berkelas mangkal di berbagai tempat hiburan malam yang banyak terdapat di daerah Kota, Jakarta Barat.

Bahkan, PSK itu tak hanya orang lokal, tetapi juga didatangkan dari wilayah Eropa Timur, Eropa Tengah, maupun daratan China.

Usia prostitusi di Jakarta hampir sama tuanya dengan usia kota itu sendiri.

"Bisnis berahi" sudah ada dan berkembang setidaknya sejak masa awal Belanda berkuasa pada abad ke-17 dan 18.

Rumah-rumah bordil yang pertama mungkin yang pernah berdiri di bagian luar di luar tembok benteng VOC di daerah Pasar Ikan.

Dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim China, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (1988), sejarawan Belanda, Leonard Blusse, mengatakan, rumah-rumah bordil itu biasa didatangi serdadu-serdadu yang ingin berpelesiran dengan perempuan-perempuan penghuninya.

Hal ini dilakukan karena serdadu kompeni dilarang membawa perempuan ke dalam barak-barak mereka.

Seperti yang sering terjadi sekarang, sebagian perempuan warga Batavia waktu itu menjadi pelacur bukan atas kehendak sendiri.

Sebuah sumber sejarah mengungkapkan, pada 1625 ada seorang perempuan pribumi bernama Maria yang mengadukan suaminya, Manuel, karena tiap hari memaksa dirinya dan budak perempuannya mencari nafkah haram dengan menjual diri kepada para laki-laki Belanda.

Pelacuran tumbuh subur di Batavia Lama, antara lain, karena kurangnya jumlah perempuan Eropa yang boleh dikawini laki-laki Belanda.

Apakah itu para pegawai dan serdadu VOC maupun mereka yang berasal dari golongan burgher, yakni pegawai VOC yang sudah keluar dari perusahaan dagang dan menjadi pengusaha mandiri.

Minta kiriman

Untuk mengatasi krisis perempuan di kota yang baru ia dirikan pada 1619, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen (JP Coen) sempat meminta para petinggi VOC di Belanda untuk mengirimkan ke Batavia ratusan anak perempuan berumur 10-12 tahun.

Rencananya yang akan diambil adalah gadis-gadis yang berasal dari berbagai rumah yatim piatu di Belanda.

Mereka akan dititipkan pada keluarga-keluarga dan dididik di sekolah-sekolah yang dibiayai kompeni, sebelum dikawinkan saat mereka sudah mencapai usia akil balig.

JP Coen berpendapat, ketersediaan perempuan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi VOC jika ingin sukses berdagang di Hindia Timur.

"Jika perempuan tersedia, pasar-pasar perdagangan Hindia akan menjadi milik Anda," demikian tulis Coen dalam suratnya kepada Heeren XVII (Tuan Tujuh Belas), dewan komisaris VOC.

Sayang, usul pengiriman para calon istri dari Eropa untuk ikut mengisi koloni Belanda di Batavia tak disetujui. Mungkin karena ongkosnya terlalu mahal.

Masalah susila lain yang dihadapi JP Coen adalah pergundikan, yang juga marak di Batavia. Hampir semua pejabat VOC bawahannya punya gundik yang disebut nyai.

Awalnya, yang favorit dijadikan gundik adalah perempuan blasteran Portugis-Asia, yang sebagian didatangkan dari Malaka, setelah pelabuhan di Semenanjung Melayu direbut VOC dari tangan Portugis, pertengahan abad ke-17.

Poligami pun jadi hal yang lumrah. Banyak laki-laki Eropa punya dua atau tiga perempuan simpanan.

Pergundikan kian marak karena praktik kumpul kebo dilakukan pula oleh para pedagang China, yang juga datang ke Batavia sendirian dari negeri asalnya.

JP Coen, yang beristrikan Eva Ment, perempuan muda Belanda yang disebut-sebut sebagai perempuan dengan perangai tak tercela, menyatakan bahwa pergundikan harus diberantas.

Menurut JP Coen, pergundikan mengakibatkan keguguran kandungan, pembunuhan bayi, dan terkadang peracunan suami oleh gundik yang cemburu.

Meski sangat antipelacuran, pergundikan, dan perzinaan, JP Coen dan para penggantinya gagal memberantasnya.

Cerita-cerita pernyaian masih terdengar hingga zaman Belanda pasca-VOC, yang bangkrut pada akhir 1799.

Gundik paling sohor di Betawi mungkin Nyai Dasima, tokoh roman sejarah abad ke-19, yang, menurut salah satu versi ceritanya, mati di tangan jago silat Bang Puase atas suruhan istri tua Bang Samiun.

Nyai Dasima kawin dengan Bang Samiun, tukang sado dari Kwitang, setelah ia kabur dari Tuan Edward, laki-laki Inggris yang sebelumnya menjadikannya istri simpanan tanpa nikah.

Pelacuran pun maju pesat. Menurut budayawan Betawi, Alwi Shabah, pada abad ke-19 di Gang Mangga, dekat Stasiun KA Jakarta Kota, ada tempat pelacuran yang populer di kalangan taipan alias pengusaha kelas kakap.

Mereka berbondong-bondong ke sana karena banyak amoy, perempuan China, yang didatangkan khusus dari Makau.

Dekade 1960-1970-an, lokasi prostitusi bertumbuhan di berbagai sudut Jakarta, mulai di Jalan Halimun, di daerah Guntur, Jakarta Selatan; Planet Senen di daerah Senen, Jakarta Pusat; sampai kompleks WTS Kebon Sereh di belakang Stasiun KA Jatinegara, Jakarta Timur.

Daerah "lampu merah" Encim Jangkrik di daerah Gedong Panjang, Penjaringan, Jakarta Utara, mungkin juga mulai berdiri pada masa ini.

Setelah hampir 10 tahun berlalu, terbukti sudah bahwa penutupan lokalisasi Kramat Tunggak tak mengubah apa pun.

Gubernur Jenderal JP Coen yang memimpin Batavia dengan tangan besi saja tak sanggup menghilangkan pelacuran, apalagi para penguasa Batavia saat ini yang sarat kepentingan dan tekanan politik.

"Pelacuran tumbuh subur di Batavia Lama karena kurangnya jumlah perempuan Eropa yang boleh dikawini laki-laki Belanda."

(Mulyawan Karim).


----

Artikel ini sebelumnya ditayangkan di Harian Kompas, edisi Senin 8 Juni 2009, halaman 27, dengan judul "Para Nyai Sampai PSK Impor"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sudirman Said Sebut Komunikasi dengan Banyak Partai soal Pilkada Jakarta 2024

Sudirman Said Sebut Komunikasi dengan Banyak Partai soal Pilkada Jakarta 2024

Megapolitan
Pria yang Dikeroyok karena Dituduh Maling Motor di Grogol Alami Luka Lebam di Wajah

Pria yang Dikeroyok karena Dituduh Maling Motor di Grogol Alami Luka Lebam di Wajah

Megapolitan
PKS Dinilai Sulit 'Move On' dari Anies Baswedan

PKS Dinilai Sulit "Move On" dari Anies Baswedan

Megapolitan
4 Pelaku Penjarahan Konser Lentera Festival Kembalikan Pagar Barikade ke Vendor

4 Pelaku Penjarahan Konser Lentera Festival Kembalikan Pagar Barikade ke Vendor

Megapolitan
Aksi WNI di Kamboja Kendalikan Penipuan Modus 'Like-Subscribe' Youtube, Korban Rugi Rp 806 Juta

Aksi WNI di Kamboja Kendalikan Penipuan Modus "Like-Subscribe" Youtube, Korban Rugi Rp 806 Juta

Megapolitan
Data Inafis Diduga Diperjualbelikan di 'Dark Web', Kompolnas Minta Polri Proteksi Data Lebih Ketat

Data Inafis Diduga Diperjualbelikan di "Dark Web", Kompolnas Minta Polri Proteksi Data Lebih Ketat

Megapolitan
Usung Marshel Widianto pada Pilkada Tangsel 2024, Gerindra Bakal Beri Pembekalan

Usung Marshel Widianto pada Pilkada Tangsel 2024, Gerindra Bakal Beri Pembekalan

Megapolitan
Potret Kondisi Tugu Selamat Datang  Depok Senilai Rp 1,7 Miliar Kini, Dicoret-coret dan Panel Lampunya Dicuri

Potret Kondisi Tugu Selamat Datang Depok Senilai Rp 1,7 Miliar Kini, Dicoret-coret dan Panel Lampunya Dicuri

Megapolitan
Saat Staf Hasto Kristiyanto Minta Perlundungan LPSK, Merasa Terancam Usai Digeledah KPK

Saat Staf Hasto Kristiyanto Minta Perlundungan LPSK, Merasa Terancam Usai Digeledah KPK

Megapolitan
Akrabnya Gibran dan Heru Budi, Blusukan Bareng di Jakbar-Jakut hingga Bagi-bagi Susu ke Warga

Akrabnya Gibran dan Heru Budi, Blusukan Bareng di Jakbar-Jakut hingga Bagi-bagi Susu ke Warga

Megapolitan
Dua Saksi Tambahan Kasus “Vina Cirebon” Ajukan Permohonan Perlindungan ke LPSK

Dua Saksi Tambahan Kasus “Vina Cirebon” Ajukan Permohonan Perlindungan ke LPSK

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 29 Juni 2024, dan Besok : Siang Ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 29 Juni 2024, dan Besok : Siang Ini Hujan Ringan

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Alasan Rombongan Tiga Mobil Tak Bayar Makan di Resto Depok | Korban Penipuan 'Like' dan 'Subscribe' Youtube Rugi Rp 800 Juta

[POPULER JABODETABEK] Alasan Rombongan Tiga Mobil Tak Bayar Makan di Resto Depok | Korban Penipuan "Like" dan "Subscribe" Youtube Rugi Rp 800 Juta

Megapolitan
Cara ke Taman Kencana Bogor dari Stasiun Bogor

Cara ke Taman Kencana Bogor dari Stasiun Bogor

Megapolitan
Rombongan Tiga Mobil yang Sempat Tak Bayar Makan di Resto Depok Menolak Buat Video Klarifikasi

Rombongan Tiga Mobil yang Sempat Tak Bayar Makan di Resto Depok Menolak Buat Video Klarifikasi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com