Oleh Saiful Rijal Yunus & Windoro Adi
"... Kawasan itu disesaki kios-kios yang menjual hasil laut. Airnya kotor. Daun-daunan, kepala ikan, dan sampah terapung di permukaan air. Bau amis dari ikan mati memenuhi udara. Namun, selagi aku dibantu menaiki anak tangga dari batu yang menuju ke daratan, aku berpikir, 'Inilah pemandangan paling indah yang pernah kulihat dalam hidupku'," ucap Bung Karno.
BEGITULAH impresi presiden pertama RI pada tahun 1942, sesampainya di Pasar Ikan. Soekarno, bersama istrinya, Inggit, dan delapan orang lainnya, baru tiba di tanah Jawa untuk pertama kali, sepulang dari pengasingan 13 tahun lamanya. Kisah ini ditulis Cindy Adams, dalam bukunya Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966).
Dalam kisahnya, Bung Karno dan rombongan berlayar selama empat hari empat malam dari Palembang. Menggunakan perahu yang panjangnya 8 meter dengan sebuah mesin kecil, mereka berlayar ke Pulau Jawa.
Di Pasar Ikan ini pula, Bung Karno dan Hatta bertemu lagi. Hatta datang bersama Sartono, seorang pengacara yang pernah membantu Soekarno. Anwar Cokroaminoto, mantan ipar Soekarno, datang pula.
Di tempat itu, mereka membahas soal pendudukan Jepang dan membuat langkah membangkitkan kembali semangat nasionalisme rakyat.
Kembali ke soal Pasar Ikan di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara (Jakut), Bung Karno mengatakan, "Selintas pandang terhadap tanah tumpah darahku yang tercinta tampak melalui teluk dari laut Jawa. Petang itu udara panas terik dan kami bergerak melewati iring-iringan perahu penangkap ikan dan sampan-sampan nelayan yang berbau anyir, di luar akuarium yang dibuat di dalam dok dan pelabuhan Pasar Ikan yang begitu sempit, hingga tidak mungkin dua perahu berpapasan."
Setelah 74 tahun, kondisi Pasar Ikan masih kumuh dan kian sesak oleh ratusan rumah yang terbangun di atas kali. Dari Menara Syahbandar, perkampungan di Pasar Ikan tampak saling impit.
Memandang ke arah laut, kapal-kapal kayu di Pelabuhan Sunda Kelapa berjejer bongkar muat. Di seberangnya, dua blok apartemen menjulang. Tampak pula dua menara Masjid Luar Batang berdiri megah.
Sisi barat dan timur
Menurut pemerhati Kota Tua, Candrian Attahiyat, awalnya hanya ada satu nama di sana, Pasar Ikan. Di sisi barat tempat sandar kapal-kapal nelayan, sedangkan di sebelah timur menjadi tempat sandar kapal pengangkut barang. "Nama Pelabuhan Sunda Kelapa itu baru muncul tahun 1970-an," ujar anggota staf ahli cagar budaya Pemprov DKI itu.
Sisi timur yang kemudian dikenal sebagai Pelabuhan Sunda Kelapa itu lebih dulu berkembang, terutama setelah abad ke-16, sedangkan sisi barat mulai berkembang setelah abad ke-18, yaitu setelah berdirinya Masjid Luar Batang diikuti berdirinya tempat pelelangan ikan, pasar ikan heksagon, dan akuarium tempat laboratorium penelitian kelautan pemerintah Hindia Belanda.
Penghuni awal Pasar Ikan, lanjut Candrian, adalah orang-orang Jawa pesisir, yakni Indramayu, Cirebon, Brebes, dan Tegal. Mereka bekerja sebagai para penggali tanah. "Mereka yang datang lalu memilih jadi nelayan," ungkap Candrian.
Adolf Heuken SJ dalam bukunya, Mesjid-mesjid Tua di Jakarta (Jakarta: Yayasan Cipta loka Caraka, 2003), menulis, permukiman orang-orang Cirebon di sekitar Luar Batang mulai tumbuh tahun 1730. Mereka bertugas membersihkan mulut Kali Ciliwung dari lumpur agar kapal sampai ke Pasar Ikan.
Orang-orang Bugis, lanjut Candrian, baru bermukim secara masif di kawasan Pasar Ikan tahun 1965. Mereka datang sebagai pelaut. Kapal pinisi mereka bersandar di sisi timur, yang kini dikenal sebagai Pelabuhan Sunda Kelapa. "Mereka bermukim di barat, tetapi kapal-kapal mereka sandar di timur," ujar Candrian.
Pasang surut
Mahmud (60) yang pernah menjadi penjual ikan bersama ayahnya di tempat pelelangan ikan mengatakan, puncak keramaian tempat pelelangan ikan terjadi tahun 70-an.
"Dulu, kalau ramai, tidak ada tempat untuk bergerak. Orang jalan saja susah, apalagi mau bawa barang. Sejak subuh, orang-orang sudah ramai datang ke sini," ucap ayah dua anak ini, Kamis (7/4).
Suarto (53), penjaga toko kerajinan kerang milik ibunya, menyampaikan hal senada. "Sampai tahun 80-an, Pasar Ikan masih ramai. Bukan cuma dikenal sebagai pemasok ikan terbesar di Jakarta, melainkan juga dikenal sebagai sentra kuliner laut dan sentra kerajinan laut," tuturnya seperti dikutip buku Batavia 1740 Menyisir Jejak Betawi (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010).
Sanang, salah seorang pengojek sepeda, menambahkan, pada tahun-tahun itu, setiap hari ia bisa mengantar sampai 10 wisatawan asing.
"Pendapatan kami tahun 80-an memang cuma Rp 15.000. Namun, sepiring nasi sayur dan telur kala itu cuma Rp 50," ucap Sanang.
Menurut dia, setelah dibuka pelelangan ikan di Muara Baru dan Muara Angke, pelelangan ikan di Kampung Luar Batang sepi.
Revitalisasi
Ya, hari itu, sebagian besar pemilik toko membongkar bangunan mereka. Pasar Ikan akan direvitalisasi sebagai kawasan wisata bahari. Batas akhir pembongkaran, Minggu. Hari ini, seluruh bangunan di lingkungan empat RT di RW 004 Penjaringan akan dibongkar.
Wali Kota Jakarta Utara Rustam Efendi, Minggu, mengatakan, 396 kepala keluarga (KK) di RW 004 mendapatkan unit rusunawa. Sejumlah 360 KK di antaranya sudah mendaftar, 262 KK sudah mendapat kunci, dan sisanya 136 KK sudah tinggal di rusun.
Rencana revitalisasi ini disambut baik sejarawan Jakarta, Kartum Setiawan. "Langkah ini setidaknya akan memicu kebangkitan empat dari 12 destinasi wisata di Jakut," ucapnya.
Keempat destinasi itu adalah Museum Bahari, Masjid Luar Batang, Museum Menara Syahbandar, dan cagar budaya Galangan Kapal VOC (Verenigde Oostindische Compagnie).
"Yang perlu mendapat perhatian adalah penataan kembali arus lalu lintas di kawasan ini yang masih didominasi truk-truk peti kemas. Perlu dipikirkan pembangunan jalan layang langsung menuju kawasan pergudangan dan pelabuhan," tutur Ketua Komunitas Jelajah Budaya itu. Selain itu, perlu juga areal parkir kendaraan.
Candrian menambahkan, warga yang memiliki usaha kerajinan dan kuliner terkait wisata bahari serta sejarah urban etnis sebaiknya diprioritaskan menghidupkan kawasan yang disebut Bung Karno menjadi kawasan terindah. Tentu saja, dengan persepsi tentang keindahan yang berbeda.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 April 2016, di halaman 27 dengan judul "Yang Terindah bagi Bung Karno".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.