JAKARTA, KOMPAS.com - Langit semakin gelap, matahari tak lagi menampakan sinarnya.
Ratusan rumah yang berjajar di tepi Pelabuhan Sunda Kelapa mulai menerangi diri dengan cahaya lampu.
Namun, ada pemandangan yang berbeda beberapa hari ini. Belasan perahu nelayan berjajar rapi di tanggul Sunda Kelapa.
Ada aktifitas di atas perahu itu, namun bukan aktifitas seorang nelayan. Basuri, bekas warga gusuran Pasar Ikan, sudah 3 hari tidur di atas perahu nelayan miliknya.
Bersama 7 orang anggota keluarga lainnya, Basuri tidur beralaskan kasur kusut yang tampak usang.
"Ya kalau tidur ramai-ramai, di mana saja, yang penting tidur," ujar Basuri kepada Kompas.com, Rabu (13/4/2016).
(Baca: Warga Korban Penggusuran Pasar Ikan Kini Tinggal di Perahu)
Jika malam tiba, Basuri hanya mengandalkan cahaya lilin untuk menerangi tidur malamnya.
Terlihat tumpukan barang seperti televisi, pakaian, kasur, dan perlengkapan rumah tangga lainnya tersusun ala kadarnya di atas perahu.
Tak ada ruang kosong di atas perahu itu. Permukaan perahu tampak penuh dengan barang-barang.
Basuri adalah seorang nelayan, yang sejak kecil telah berpetualang di laut.
Kini, kulit Basuri tampak sudah kendur, tenaganya pun tak sekuat dulu. Umurnya juga sudah lebih dari 60 tahun.
Namun, semangat bertahan hidupnya tersebut membuat Basuri tak kenal lelah mencari nafkah bagi keluarganya.
Selain Basuri, ada Fahri yang juga menjadi korban penertiban kawasan Pasar Ikan.
Laki-laki berumur 33 tahun ini menceritakan nasibnya setelah tergusur dari rumah, yang telah 15 tahun ia tempati.
Sudah tiga hari Fahri dan keluarganya menjadi "orang perahu". Dua orang anaknya yang masih berada duduk di bangku sekolah dasar juga terpaksa diliburkan karena kondisi yang tidak memungkinkan bersekolah.
"Siapa yang enggak mau anaknya sekolah Bang, semuanya pasti mau lah. Jangan kayak Bapaknya Bang. Tetapi ya mau bagaimana, kondisinya seperti ini," kata Fahri.
(Baca: Nasib Anak Korban Gusuran di Pasar Ikan Penjaringan Belum Jelas)
Selain itu, Fahri harus mengurus istrinya yang sedang hamil 8 bulan. Lingkungan yang kumuh dan kotor jelas membahayakan istri dan bayi yang ada di dalam kandungan.
Di tengah masalah penggusuran ini, Fahri juga harus memikirkan biaya persalinan istrinya. Belum lagi biaya hidup yang saat ini membuatnya kebingungan.
Untuk kebutuhan sehari-hari, Fahri mengandalkan pekerjaannya sebagai nelayan.
Tak tentu berapa pendapatannya dalam sehari. Kendati demikian, demi anak dan istrinya, pekerjaan halal apa pun akan dia lakukan.