JAKARTA, KOMPAS.com - Ratusan nelayan Teluk Jakarta berbondong-bondong menuju Pulau G, Jakarta, Minggu (17/4/2016). Berbekal perahu dan semangat, para nelayan bergerak menduduki pulau reklamasi proyek PT Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan PT Agung Podomoro Land (APLN) tersebut.
Aksi nelayan ini merupakan bagian dari kekesalannya terhadap reklamasi. Pembangunan daratan ini dianggap mematikan mata pencaharian nelayan tradisional di sekitar Teluk Jakarta. Para nelayan akhirnya bersepakat untuk mendatangi dan menyegel Pulau G.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Riza Damanik, mengungkapkan aksi penyegelan merupakan simbol penolakan terhadap reklamasi. Menurut Riza, saat ini sudah ada beberapa alasan untuk tidak melanjutkan proyek reklamasi.
"Ini sudah legitimate dengan beberapa alasan," kata Riza di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara, Minggu, (17/4/2016).
Alasan tersebut antara lain adalah sikap para nelayan yang menolak reklamasi, rekomendasi pemerintah pusat agar reklamasi dihentikan, dan tidak dilanjutkannya pembahasan raperda reklamasi oleh DPRD DKI Jakarta.
"Komisi IV DPR RI juga menyarankan untuk tidak dilanjutkan. KPK sudah mengimbau umtuk tidak melanjutkan," kata Riza.
( Bca: Ahok: Kalau Pak JK Minta Reklamasi Dihentikan, Dasar Hukumnya Mana? )
Ke depan, ia meminta ketegasan dari berbagai pihak untuk mengambil langkah terhadap reklamasi ini. Salah satunya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyegel pulau-pulau yang tidak melengkapi dokumen lingkungan hidup dengan baik.
"Itu mudah saja dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup," kata Riza.
Taat aturan reklamasi
Persoalan reklamasi saat ini, kata Riza, bukan lagi tentang perbedaan cara memahami dasar hukumnya. Akan tetapi, permasalahan reklamasi saat ini adalah mengenai patuh atau tidaknya pejabat berwenang terhadap regulasi yang ada.
"Buktinya apa? Salah satunya SK Gubernur kegiatan reklamasi F, G, I dan K," kata Riza.
Izin reklamasi Pulau G dilakukan pada akhir tahun 2014 dan F, I, K pada tahun 2015. Izin tersebut dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok melalui SK Gubernur.
Sesuai dengan aturan itu disebutkan bahwa peraturan baru harus diikuti. Salah satu aturannya yakni Undang-Undang No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam pasal 50 di UU Nomor 1 tahun 2014 disebutkan bahwa izin lokasi dari kegiatan reklamasi ada di tingkat Kementerian Kelautan dan Perikanan. Izin setelah penetapan undang-undang itu harus melalui pusat.
Kenyataannya, kata Riza, izin reklamasi F, G, I dan K terbit melalui SK Gubernur DKI Jakarta dan setelah undang-undangnya berlaku.
"Jadi setelah Januari 2014, izin-izin yang keluar setelah itu, termasuk G, F, I dan K itu kan harusnya gunakan leraturan ini," kata Riza.
SK Gubernur, lanjut Riza, juga tidak memasukan kata-kata menimbang undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan pulau kecil, penataan ruang dan lingkungan hidup.
"Jadi menurut saya ini bukan perbedaan mazhab hukum, tapi kesengajaan untuk tidak memakai peraturan perundang-undangan yang ada," ungkap Riza.