Sementara itu, Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, Yoga Adiwinarto, menilai, vonis 2,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Bima merupakan akibat dari belum adanya keistimewaan hukum bagi sopir transjakarta.
Karena itu, ia menilai sudah saatnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan direvisi, untuk kemudian ditambahkan pasal-pasal yang membuat sopir transjakarta bisa mendapatkan keistimewaan laiknya masinis kereta.
"Saya pikir di UU tentang jalan dan angkutan harus ditegaskan pasal tentang pelanggaran penyerobotan ke jalur khusus angkutan massal. Jadinya mirip kalau bus atau truk nabrak kereta, yang dihukum sopir truk, bukan masinis," kata Yoga kepada Kompas.com, Sabtu (14/5/2016).
Menurut Yoga, keberadaan busway sejatinya sama seperti rel kereta. Fasilitas itu diadakan agar transjakarta mendapatkan prioritas ketimbang kendaraan lainnya, terutama kendaraan pribadi.
"Jadi transjakarta harus dibikin setara seperti kereta api. Karena sama-sama angkutan massal," kata dia.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas. Ia menyebut vonis yang dijatuhkan kepada sopir transjakarta penabrak penyerobot busway sangat tidak adil.
"Saya kira yang salah pengendara sepeda motor yang nyerobot jalur busway. Jadi tidak fair bila kesalahannya dibebankan pada pengemudi transjakarta yang berjalan di jalurnya," ucap Darmaningtyas.
"Mirip kereta nabrak pengendara motor atau mobil, bukan salah masinisnya, tapi salah si pengendara motor atau mobil," sambungnya.