KOMPAS.com - Kematian sang ayah di pengujung tahun 2000 membuat jiwa Delni terguncang. Dia kerap berhalusinasi, berteriak tanpa kendali, hingga kabur dari rumah.
Lima tahun berlalu, pihak keluarga akhirnya menitipkan Delni di panti rehabilitasi kejiwaan Yayasan Galuh demi kesembuhan jiwanya.
Sebelas tahun berlalu. Delni yang kini berusia 45 tahun terlihat begitu tenang.
Usai menunaikan shalat Tarawih berjemaah, Sabtu (18/6/2016) malam, ia merapikan karpet yang digunakan untuk beribadah dan mengembalikannya ke mushala.
”Rasanya hati tenang kalau sudah selesai shalat dan mengaji,” ujar Delni, saat ditemui di halaman Yayasan Galuh di Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi.
Delni merupakan salah satu penderita gangguan jiwa yang dirawat di yayasan itu.
Setiap hari setelah menyantap hidangan buka puasa, ia bersama beberapa pasien lain membersihkan ruang makan dan merapikan meja-kursi.
”Delni sudah hampir 80 persen pulih, makanya bisa diajak bersih-bersih ruangan,” kata Nina Mardiana, Sekretaris Yayasan Galuh.
Saat ini terdapat 370 pasien, terdiri dari 290 laki-laki dan 80 perempuan, yang dirawat di Yayasan Galuh.
Dari jumlah itu, hanya 25 persen yang ditengok secara rutin oleh keluarga serta mendapatkan dukungan material dan moral.
”Hanya seperempat dari seluruh pasien yang keluarganya memberikan bantuan dana kepada yayasan. Paling besar sekitar Rp 1 juta per bulan,” ucap Nina.
Semua pasien ditempatkan dalam 14 bangsal terpisah di bangunan dua lantai.
Setiap bangsal berukuran sekitar 5 meter x 6 meter dan dihuni 20-30 orang. ”Kalau bangsal tak muat, mereka (pasien) kadang tidur di aula,” kata Nina lagi.
Selain yang dititipkan keluarga, ada juga pasien yang diambil dari jalanan. Seperti Ilham, pasien asal Papua, yang dititipkan polisi ke Yayasan Galuh karena mengamuk di satu jalan di daerah Jatiasih, Kota Bekasi, dua bulan silam.
Ilham yang mengadu nasib ke Ibu Kota diduga depresi karena belum mendapatkan pekerjaan. Uangnya habis dicopet.
Dana sendiri
Sejak didirikan tahun 1995 oleh Gendu Mulyatip, panti rehabilitasi kejiwaan Yayasan Galuh mencari sumber dana sendiri untuk merawat pasien.
Gendu berjuang menghidupi pasien dengan mengandalkan bantuan keluarga pasien, donatur, dan bantuan tidak tetap dari pemerintah.
Gendu meninggal pada 2011 dan menyerahkan pengelolaan yayasan kepada anaknya, Suhanda.
Tahun 2014, panti yang berdiri di atas lahan seluas 4.000 meter persegi di ujung Gang Bambu Kuning IX itu membangun sejumlah fasilitas baru, seperti bangsal, ruang isolasi, lapangan berlantai beton, dan aula yang juga menjadi ruang makan.
Pembangunan itu sepenuhnya didanai sebuah lembaga sosial yang menjadi donatur tetap.
Namun, yayasan yang dikelola 40 pengurus itu masih kewalahan memenuhi biaya operasional.
Sejumlah pengurus yang diperbantukan untuk merawat pasien hanya digaji Rp 200.000 per bulan.
Kebanyakan donatur memberikan bantuan berupa barang, seperti mesin cuci, televisi, atau meja-kursi.
Pemerintah Kota Bekasi menyumbang sekitar 210 karung atau setara 10,5 ton beras per tahun.
Kebutuhan beras di panti itu untuk makan pasien dan pengurus mencapai 720 karung beras per tahun.
”Memang ada bantuan dana Rp 180 juta dari Kementerian Sosial setiap tahun untuk 200 pasien. Rata-rata setiap pasien mendapat Rp 900.000 per tahun. Nyatanya, biaya operasional yayasan dan makan pasien jauh lebih besar,” ucap Nina.
Persoalan serupa dihadapi panti rehabilitasi kejiwaan Yayasan Jamrud Biru di Jalan Mustikasari, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi. Kondisi yayasan yang berdiri sejak tahun 2012 ini lebih memprihatinkan.
Yayasan ini masih mengontrak lahan seluas 700 meter persegi dengan harga Rp 45 juta per tahun.
”Tahun ini kami masih kekurangan uang Rp 15 juta untuk bayar kontrakan,” ucap Suharyono, pendiri dan terafis di Yayasan Jamrud Biru, saat ditemui, Kamis (9/6) lalu.
Kendati demikian, Suharyono tidak mau menyerah. Dia menyadari, 25 pasien yang kini dirawatnya membutuhkan penanganan hingga sembuh.
Penderita gangguan jiwa yang terabaikan di sudut kota dan jalanan, kata Suharyono, juga memiliki hak untuk sembuh dan hidup sebagai manusia normal.
”Kesembuhan pasien tak dapat dipatok waktu, tergantung kondisi yang bersangkutan. Tetapi yang jelas mereka butuh makan dan perawatan,” ujar Suharyono, yang mengabdi belasan tahun di Yayasan Galuh sebelum mendirikan yayasan sendiri.
Kepala Bidang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial Kota Bekasi Iwan Jenewanto mengakui, Pemkot Bekasi hanya memberikan bantuan kebutuhan pokok senilai Rp 270 juta kepada Yayasan Galuh dan Yayasan Jamrud Biru.
”Memang anggarannya terbatas. Jadi, kami hanya memberikan bantuan berupa kebutuhan pokok,” ucap Iwan.
Tidak hadir
Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia Bagus Utomo menilai, munculnya panti rehabilitasi kejiwaan yang dikelola sendiri oleh masyarakat merupakan bukti ketidakhadiran negara dalam menangani penderita gangguan jiwa.
Seharusnya, kata Bagus, setiap kabupaten/kota memiliki panti dan rumah sakit jiwa sendiri untuk menangani para penderita gangguan jiwa.
Berdasarkan data Pemkot Bekasi, ada 42 penderita gangguan jiwa di Bekasi yang sejak tahun lalu hingga Juni ini dititipkan dinas sosial ke panti rehabilitasi swadaya masyarakat itu.
Sebab, Kota Bekasi belum memiliki panti dan fasilitas di rumah sakit umum daerah untuk menampung para pasien sakit jiwa.
Panti rehabilitasi kejiwaan seperti Yayasan Galuh dan Jamrud Biru makin dibutuhkan masyarakat ketika negara tak hadir menjamin kehidupan yang layak bagi mereka.
Ironi ini muncul di tengah gaung program revolusi mental pemerintah.
HARRY SUSILO
----
Artikel ini sebelumnya ditayangkan di Harian Kompas edisi Selasa, 21 Juni 2016, dengan judul "Merawat Mereka yang Terabaikan..."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.