Politisi PDI-P yang merupakan Ketua DPRD DKI Jakarta Presetyo Edi Marsudi adalah salah satu seteru Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam sejumlah rapat DPRD yang membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).
Kisah RTRKSP berujung dugaan suap. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi, mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja, dan Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro.
Dalam persidangan Ariesman dan Trinanda nama Prasetio disebut sebagai diduga bertindak sebagai perantara suap dari perusahaan pengembang properti kepada sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta.
Suap tersebut diduga terkait percepatan pembahasan Rancangan Perda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).
Baca: Rekaman Ungkap Dugaan Prasetio Edi Marsudi Jadi Perantara Suap Pengembang.
Keduanya juga pernah berseteru soal langkah Ahok yang kala itu pernah memilih jalur independen untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta karena tidak memiliki dukungan partai politik.
Prasetyo menyebut langkah Ahok sebagai deparpolisasi.
Yang paling anyar, sebelum PDI-P memutuskan mendukung Ahok, sejumlah kader PDI-P termasuk Prasetyo pernah menyanyikan lagu “Ahok pasti tumbang”. Lihatlah videonya di bawah ini.
Saat itu sejumlah politisi PDI-P tengah mesra-mesranya dengan koalisi kekeluargaan. Selain PDI-P enam partai lain yang mendeklarasikan koalisi kekeluargaan adalah Gerindra, PKS, PPP, Demokrat, PKB dan PAN.
Koalisi yang umurnya cuma sebentar ini pernah bersepakat untuk mencari kandidat di luar Ahok.
Bahkan, karena begitu bersemangatnya menentang Ahok, politisi PDI-P Masinton Pasaribu sempat berujar kalau “kambing dibedakin” pun akan menang lawan petahana.
PDI-P hengkang dari koalisi karena Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri memutuskan untuk mendukung pasangan Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta. Seteru Ahok, Prasetyo, ditunjuk untuk menjadi ketua tim pemenangan pasangan ini.
Prasetyo pun kini “berpelukan mesra” dengan Ahok. Semua politisi PDI-P yang dulu menentang Ahok kini dituntut balik badan untuk menyuarakan dukungan.
Anies dan mafia
Tidak kah juga Anda merasa “lucu” melihat Anies Baswedan. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini dikenal sebagai sosok yang santun.
Ia bukan politisi, bukan anggota partai politik. Ia akademisi, pernah menjadi rektor Universitas Paramadina sebelum akhirnya diangkat menjadi menteri oleh Jokowi.
Anies punya jasa besar di masa kampanye Jokowi di Pilpres 2014. Ia adalah jurubicara kubu Jokowi yang kala itu berhadap-hadapan dengan Prabowo.
Kenapa harus pilih Jokowi? Kata Anies kala itu, karena memilih Jokowi tidak memiliki beban moral. Prabowo dianggap sebagai bagian dari masa lalu yang memiliki sejumlah beban moral.
“Monolog” Anies kenapa harus pilih Jokowi ketimbang Prabowo dapat dilihat pada video di bawah ini.
Di luar sosok prabowo yang dianggapnya sarat dengan beban moral masa lalu, kata Anies kala itu, para pendukungnya pun disebutnya sebagai bagian dari mafia.
Sejumlah politisi di partai pendukung Prabowo ada yang tersangkut kasus korupsi migas, haji, impor daging, Alquran, dan lumpur Lapindo.
Pada Pilpres 2014, Prabowo yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra diusung oleh Golkar, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Demokrat.
Kini Anies memilih berdamai dengan kata-katanya dulu. Ia menerima pinangan kelompok yang dulu disebutnya sebagai bagian dari mafia.
Anies maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Sandiaga Uno. Partai pengusungnya adalah Gerindra dan PKS.
Saat diundang dalam acara Mata Najwa dan ditanya soal pilihan politiknya yang berubah haluan, ia mengatakan bahwa pilpres sudah selesai. Sudah tidak relevan lagi bicara soal pilpres.