Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hilangnya Air Bawah Tanah Jakarta

Kompas.com - 18/10/2016, 17:00 WIB

"Semua terlibat, dari kami sendiri, operator, UPPD, bahkan KPK. Kalau bekerja sendiri susah tembus. Kami sendiri memang masih lemah, terus terang saja. Sulit untuk menemukan yang ilegal," ucap Kepala Seksi Pengawasan Air Tanah Dinas Tata Air Ahmad Sodri.

Menurut Sodri, pengawas air bawah tanah di Dinas Tata Air hanya lima orang. Mereka mengawasi penggunaan air tanah di seluruh wilayah Jakarta. Sementara tenaga pencatat meteran air tanah hanya 19 orang, yang bertugas mencatat 4.432 pelanggan setiap bulan. Padahal, data dari pencatat tersebut yang digunakan untuk menentukan pajak air tanah.

Pihak Dinas Tata Air mengakui tak mendatangi seluruh pelanggan air tanah setiap bulan. Hal itu karena beberapa pelanggan telah menutup sumur, tetapi tetap terdaftar sebagai pelanggan. Selain itu, pelanggan yang pemakaiannya selalu nol meter kubik hanya didatangi dua atau tiga bulan sekali.

"Yang pemakaiannya selalu nol meter itu kan cadangan. Jadi hanya didatangi dua atau tiga bulan sekali. Termasuk yang sudah tutup, atau perusahannya bangkrut. Jadi, kalau didatangi setiap bulan juga untuk apa?" kata Ade Maulana, anggota Staf Bidang Pengendalian Air Tanah Dinas Tata Air.

Anomali pemakaian

Kompas menelusuri pengambilan air tanah, baik yang tercatat normal maupun yang menunjukkan anomali. Potensi korupsi terutama terjadi dari pencatatan meteran air, juga dari "kenakalan" pelanggan. Anomali pemakaian air tanah makin terlihat ketika pelanggan dibandingkan dengan pemakaian air perpipaannya.

Di Jakarta Barat, sebuah sumur air tanah dalam di sebuah gudang perusahaan jasa kirim barang disegel, Rabu (7/9) lalu. Sumur air tanah itu terbukti tidak berizin. Perusahaan itu telah diperingatkan sebelumnya untuk mengurus perizinan sumur, tetapi tidak mematuhi.

Sumur terletak di bagian belakang area kantor yang sulit dicek. Sebuah kolam penampungan air berada tak jauh dari sumur. "Kami sudah peringatkan, tetapi tidak diurus segera," ucap Subhan, pengawas air tanah dari Dinas Tata Air.

Kecurigaan itu bermula karena pemakaian air perpipaan perusahaan tersebut sangat minim. Setelah diketahui memiliki sumur air tanah dalam, mereka lalu diarahkan menggunakan air perpipaan. Sebulan setelahnya, pemakaian air perpipaan mereka menjadi 900 meter kubik.

Sebuah apartemen di Sunter tercatat memiliki satu sumur. Data bulan Juli pemakaiannya 4 meter kubik. Apartemen dengan jumlah kamar 730 unit dengan okupansi sekitar 60 persen ini ternyata memiliki dua sumur air tanah.

"Kami punya dua sumur, dipakai cuma buat cadangan kalau air perpipaan mati," kata Edi (54), manajer gedung.

Dia lalu memperlihatkan tagihan air perpipaan yang mencapai Rp 60 juta untuk bulan yang sama. Menurut Edi, pihaknya memakai air sumur untuk memanaskan mesin air saja.

Seorang tenaga pencatat meteran dalam wawancara dengan Kompas, Senin (19/9), mengakui berbagai celah kecurangan pengambilan air tanah. Sering kali, sejumlah pelanggan, baik apartemen, industri, maupun pusat perbelanjaan, memiliki sumur lain yang tak didaftarkan.

Dari pengalaman petugas itu, perusahaan bisa meminta petugas pencatat untuk mengurangi data penggunaan meteran air tanah. Misalnya, suatu perusahaan menggunakan 100 meter kubik per bulan. Petugas bisa mencatat hanya 40 meter kubik per bulan. Petugas akan mendapatkan "komisi" dari sisa kekurangan pembayaran yang tak dicatat.

"Sekarang sudah tidak bisa. Kalau mau main-main, ada bukti foto. Susahlah sekarang kalau mau aneh-aneh," ujarnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PPKUKM Akui Tumpukan Sampah 3 Ton Jadi Faktor Utama Sepinya Lokbin Pasar Minggu

PPKUKM Akui Tumpukan Sampah 3 Ton Jadi Faktor Utama Sepinya Lokbin Pasar Minggu

Megapolitan
3 Kapal Nelayan di Muara Baru Terbakar akibat Mesin Pendingin Ikan Meledak

3 Kapal Nelayan di Muara Baru Terbakar akibat Mesin Pendingin Ikan Meledak

Megapolitan
Jelang Pilkada 2024, Demokrat Ungkap Kriteria yang Cocok Jadi Cagub Jakarta

Jelang Pilkada 2024, Demokrat Ungkap Kriteria yang Cocok Jadi Cagub Jakarta

Megapolitan
Upaya Mencari Titik Terang Kasus Junior Tewas di Tangan Senior STIP

Upaya Mencari Titik Terang Kasus Junior Tewas di Tangan Senior STIP

Megapolitan
Pelaku Pembunuhan Kakak Tiri di Medan Serahkan Diri ke Polresta Bogor

Pelaku Pembunuhan Kakak Tiri di Medan Serahkan Diri ke Polresta Bogor

Megapolitan
Cerita Warga Trauma Naik JakLingko, Tegur Sopir Ugal-ugalan Malah Diteriaki 'Gue Orang Miskin'...

Cerita Warga Trauma Naik JakLingko, Tegur Sopir Ugal-ugalan Malah Diteriaki "Gue Orang Miskin"...

Megapolitan
Pendisiplinan Tanpa Kekerasan di STIP Jakarta Utara, Mungkinkah?

Pendisiplinan Tanpa Kekerasan di STIP Jakarta Utara, Mungkinkah?

Megapolitan
STIP Didorong Ikut Bongkar Kasus Junior Tewas di Tangan Senior

STIP Didorong Ikut Bongkar Kasus Junior Tewas di Tangan Senior

Megapolitan
Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir di Minimarket dan Simalakama Jukir yang Beroperasi

Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir di Minimarket dan Simalakama Jukir yang Beroperasi

Megapolitan
Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Kuasa Hukum Berharap Ada Tersangka Baru Usai Pra-rekonstruksi

Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Kuasa Hukum Berharap Ada Tersangka Baru Usai Pra-rekonstruksi

Megapolitan
Cerita Farhan Kena Sabetan Usai Lerai Keributan Mahasiswa Vs Warga di Tangsel

Cerita Farhan Kena Sabetan Usai Lerai Keributan Mahasiswa Vs Warga di Tangsel

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini, 7 Mei 2024 dan Besok: Nanti Malam Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini, 7 Mei 2024 dan Besok: Nanti Malam Hujan Ringan

Megapolitan
Provokator Gunakan Petasan untuk Dorong Warga Tawuran di Pasar Deprok

Provokator Gunakan Petasan untuk Dorong Warga Tawuran di Pasar Deprok

Megapolitan
Tawuran Kerap Pecah di Pasar Deprok, Polisi Sebut Ulah Provokator

Tawuran Kerap Pecah di Pasar Deprok, Polisi Sebut Ulah Provokator

Megapolitan
Tawuran di Pasar Deprok Pakai Petasan, Warga: Itu Habis Jutaan Rupiah

Tawuran di Pasar Deprok Pakai Petasan, Warga: Itu Habis Jutaan Rupiah

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com