Di usia senjanya, ia masih kucing-kucingan dengan Satpol PP. Bermodalkan gerobak dan resep mutakhir, Irwan mulai jualan sop kaki kambing di Jakarta pada 1961. Ia memulai bisnisnya di pom bensin Melawai.
Beberapa kali ia harus pindah, mulai dari Semanggi, Roxy, hingga akhirnya menetap di belakang Taman Sepeda Melawai atau di pinggir Jalan Melawai XIII.
Meski memiliki pelanggan setia mulai dari pejabat hingga artis Ibu Kota, Irwan tak pernah membuka rumah makan secara resmi. Kuali-kuali jeroan kambing di tenda mungil menjadi daya tarik tersendiri bagi pelanggannya. Hingga akhirnya pada Oktober 2015, "musibah" menimpanya.
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan membubarkan Pujasera Melawai, termasuk sop dan sate kambing Irwan yang termahsyur. Irwan pun terpaksa angkat kaki karena ia memang mengokupasi lahan secara liar.
Awal 2016 Irwan pindah ke Taman Wijaya IX. Di usia senjanya, Irwan yang memiliki tiga pegawai masih terus dihantui ancaman penertiban. Namun nasib baik memihaknya. Pujasera Melawai kembali dihidupkan oleh pemerintah dengan menggandeng 41 pedagang lama. Kali ini lebih tertata, melalui program revitalisasi UKM yang didanai oleh corporate social responsibility (CSR) dari PT Sosro.
Masih sama seperti dulu, Irwan tetap harus membayar retribusi sebesar Rp 3.000 per hari yang didebet melalui rekening Bank DKI. Tak hanya itu, Irwan juga didaftarkan BPJS Kesehatan. Iuran tiga bulan pertamanya dibayari oleh Bank DKI.
"(Sudah) 55 tahun saya dagang di Jakarta, baru sekarang saya merasa merdeka," kata Irwan ketika ditanya rasanya berjulan kembali di bawah binaan DKI.
(Lihat: "55 Tahun Dagang di Jakarta, Baru Sekarang Saya Ngerasa Merdeka")
Kisah sukses lainnya dialami PKL di Kota Tua. Jika saat ini puluhan pedagang kesal karena ditertibkan dan dipindahkan ke Jalan Cengkeh, pedagang roti Kevin Sihombing dan 28 PKL lainnya sudah menuai hasil dari penataan PKL.
Sebelum DKI aktif menata, Kevin-lah yang berjuang agar PKL diberikan tempat dan diizinkan merawat terowongan penyeberangan orang (TPO) Kota Tua. Tujuh tahun lamanya sejak diresmikan Fauzi Bowo pada 2008, TPO itu jadi sarang pengemis, pengamen, jambret, hingga prostitusi.
Kevin yang biasa dagang di sana sambil dibayangi ancaman penertiban, sejak 2013 mengupayakan izin berjualan. Juli 2015, ia membayar retribusi yang menurutnya sangat murah dibandingkan omzetnya yang mencapai belasan juta.
Retribusi sebesar Rp 150.000 per bulan, dianggarkan sebagian untuk menghias TPO Kota Tua. Tempat itu kini jadi semacam festival hari-hari besar. Banyak orang beristirahat dan berfoto di sana sembari menikmati jajanan.
"Ini supaya orang-orang merasa nyaman dan senang. Pasti senang dong kalau misalnya ke sini melihat tidak hanya hari rayanya (warga) mayoritas saja yang dirayakan, tapi juga (warga) minoritas merasa diakui. Semua hari raya mulai dari Islam, Kong Hu Cu, Buddha, Hindu, kami akui semua di sini," kata Kevin.
(Lihat: Buah Perjuangan PKL Menata Terowongan Penyeberangan Orang di Kawasan Kota)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.