Setelah kejadian ini, pasukan VOC membabi buta memburu setiap orang Tionghoa di Batavia. Sebagian besar mereka kembali ke Tangerang, sebagian orang lainnya lari ke Depok, Jawa Barat, dan ada sebagian orang lain yang lari ke Jawa Tengah dan mendapat perlindungan Raja Mataram, Sunan Pakubuwono II.
Tanggal 1 Februari 1741, pecah pemberontakan terhadap VOC di Pati, Jawa Tengah. Sejak itu pemberontakan orang-orang Jawa dan peranakan Tionghoa meluas ke seluruh Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Setelah pasukan Pakubuwono II berhasil dipukul pasukan VOC, pemberontakan mereda dan baru berakhir pada 1743.
Kali Merah
Seusai hiruk-pikuk ini, orang-orang Tionghoa memberi arti baru Angke dalam bahasa Hokkian sebagai kali merah atau sungai darah. Sebelumnya, nama Angke dimaknai sebagai nama Tubagus Angke.
Tubagus Angke atau Kawis Adi Martha adalah Pangeran Jayakarta II, ayah Jayawikarta. Tubagus Angke menikah dengan Ratu Fatima Pembayun, anak keenam Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten pertama.
Leonard Y Andaya dalam bukunya, The Heritage Of Arung Palakka, menulis, tahun 1663, Arung Palakka, Sultan Bone, bersama para pengikutnya pernah tinggal di salah satu ruas tepian Kali Angke dan mendapat julukan Toangke (orang-orang Angke yang disegani). Arung dan kelompoknya tinggal di tepian Kali Angke tersebut setelah terdesak oleh pasukan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa, Makassar.
Empat tahun kemudian, setelah mendapat bantuan pasukan dan amunisi dari VOC, Arung dan kelompoknya menggulingkan Hasanuddin.
Tradisi dan festival
Karena Kesultanan Banten terus diwarnai pertikaian internal,VOC kemudian memindahkan pangkalan dagangnya ke Batavia. Kali Angke menjadi andalan transportasi air mengangkut bermacam bahan bangunan dari Tangerang (West Omilanden) ke Batavia. Di bawah Kapitan Tionghoa pertama, Souw Beng Kong, ribuan peranakan Tionghoa didatangkan dari Tangerang.
Sebagian besar mereka, kata pemerhati budaya peranakan Tionghoa, Udaya Halim, mengembangkan perkebunan tebu dengan memanfaatkan air terutama dari Kali Angke dan Ciliwung. Tak heran jika Batavia kemudian dikenal sebagai salah satu pemasok gula dunia.
Dari perkebunan tebu inilah kemudian muncul sejumlah tradisi dan festival air di tepian Kali Angke sejak dari ruas Tangerang sampai Batavia. Tradisi dan festival air tersebut antara lain Pek Cun (lomba perahu naga), melepas kura-kura, dan ikan ke sungai. Kelenteng-kelenteng dan rumah kawin (balai pernikahan) pun tumbuh bertebaran di beberapa ruas Angke.
Catatan Kompas, sampai awal tahun 1990-an, sejumlah rumah kawin di tepi Kali Angke di ruas Jalan Tubagus Angke, terutama di sekitar Pesing Poglar, Kedaung Kali Angke, Cengkareng, Jakarta Barat, masih tampak. Kini, rumah-rumah kawin tersebut hanya bisa dijumpai di kawasan Teluk Naga dan Sewan, di Kecamatan Kampung Melayu, Kabupaten Tangerang.
Sejarawan Jakarta, Mona Lohanda, menyampaikan hal serupa. "Perkebunan tebu berawal dari Tangerang, kemudian meluas ke Batavia. Ini menunjukkan, imigran Tiongkok terbesar ke Batavia berasal dari Tiongkok Selatan. Ya, dari suku Hokkian. Mereka umumnya petani tebu," tutur Mona.
Ekonomi desa kota
Ia mengakui imigran Tiongkok kala itu lebih memilih tepian Kali Angke sebagai kawasan permukiman dibandingkan dengan tepian Kali Ciliwung. Selain karena Angke lebih kecil dibandingkan Ciliwung, juga karena Ciliwung melintas di tengah kota Batavia, sedangkan Angke tidak.