Padahal Tangerang Selatan memiliki tujuh kecamatan yang kini dipadati permukiman dan kawasan komersial. Tangerang Selatan yang sudah berusia 8 tahun ini juga tidak memiliki alun-alun kota.
Tak punya tempat
Menurut Toroi, sebelum ada taman itu, anak-anak muda setempat tak punya tempat untuk berkumpul, berdiskusi, atau menuangkan ide kreatif lainnya. Tempat-tempat yang ada dulu telah berganti menjadi area komersial, seperti mal, restoran, atau kafe. Jika masuk ke sana, mereka harus merogoh uang yang tidak sedikit. "Masak mau diskusi saja, kita harus keluar uang?" katanya.
Setelah taman itu jadi, siapa pun bisa datang untuk sekadar mengobrol, beristirahat, atau membaca buku. Syabana mengatakan, komunitas di sekitar pasar yang sebelumnya saling curiga dan rawan kejahatan, kini menjadi saling menjaga. Rasa memiliki kawasan itu pun mulai tumbuh.
"Taman Baca itu merupakan inisiatif mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Mereka menyumbang buku-buku setelah tahu di sini ada kegiatan. Sekarang pengelolaannya diserahkan kepada kami. Sampai sekarang masih saja ada orang datang menaruh kardus penuh buku ke sini," kata Syabana.
Saat ini, ada banyak komunitas datang dan melakukan aneka kegiatan di tempat itu. Saking banyaknya komunitas, mereka menyatukan diri dalam komunitas "Satu Atap". Dari komunitas-komunitas ini pun kemudian lahir lagi komunitas bernama Pemuda Pengabdi Nusantara (P2N) yang setiap Sabtu mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak secara gratis.
Mereka mengajar di Jalan Bakti RT 003 RW 007 Kelurahan Ciputat, Kecamatan Ciputat, sekitar 2 kilometer dari kolong jalan layang tersebut. Setiap Sabtu sore, mahasiswa dari sejumlah kampus di seputar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi datang untuk mengajar di tempat itu hingga malam.
Warga setempat menyediakan tempat bagi anak-anak untuk belajar. Anak-anak belajar di teras atau di ruang tamu beberapa rumah warga. Seorang warga, Ade Basuki (44), menyediakan teras rumahnya yang juga menjadi toko air isi ulang dan elpiji untuk tempat belajar anak-anak kelas I-III SD.
"Anak-anak senang sekali dengan kegiatan ini. Mereka sangat semangat. Kalau telat mulai sedikit saja, anak-anak enggak sabar menunggu. Kami juga terbantu karena biaya untuk kursus bahasa Inggris, kan, tidak murah. Sekarang mereka bisa belajar bahasa Inggris dengan gratis," kata Ade.