Saking sulitnya mencari pembantu, orang rela membayar mahal. Tyas Ayu Rosanti (29), ibu rumah tangga dengan dua anak balita yang tinggal di Gading Serpong, Tangerang, mengeluarkan sekitar Rp 4 juta sebulan untuk dua pembantu. Satu pembantu yang menginap bertugas mengurus anak keduanya yang berusia 1,5 tahun. Pembantu kedua, yang datang pagi dan pulang sore, mengurus pekerjaan rumah tangga.
Untuk pembantu pertama, ia membayar gaji Rp 2,25 juta sebulan, lebih tinggi daripada gaji rata-rata di kompleks perumahannya sekitar Rp 1,6 juta-Rp 1,8 juta.
Ia juga menuruti syarat tambahan sang embak asal Lampung itu, kenaikan upah tiap tiga bulan dan pulang kampung tiga bulan sekali.
"Saya juga diomelin teman-teman karena katanya merusak pasaran, tapi, ya, bagaimana lagi, sudah cocok," kata Tyas yang banyak beraktivitas di Jakarta itu.
Menurut pengelola lembaga pelatihan dan penyalur tenaga kerja PT Dani Mandiri, Sela Aprilia, permintaan pembantu di Jakarta dan sekitarnya meningkat sekitar 30 persen daripada tahun lalu. Tiap hari rata-rata ada permintaan 10-15 orang di salah satu kantornya di Jakarta Selatan, padahal tenaga yang tersedia hanya 1-2 orang. Bahkan pernah tak ada sama sekali.
Para perekrut di berbagai pelosok perdesaan sampai harus merayu agar orang mau bekerja. Daerah pencarian pembantu antara lain di Jateng, Jatim, dan Lampung.
"Orang sekarang milih kerja rumah tangga di luar negeri sekalian karena gaji lebih tinggi," kata Aprilia.
Wati Setyo (30), warga Kemanggisan asal Solo, menolak tawaran bekerja menjadi pembantu dan lebih memilih bekerja di usaha rumahan batik konfeksi meskipun, ia mengakui, pendapatan menjadi pembantu mungkin lebih besar. "Kalau kerja rumah tangga itu berat, seharian terikat dengan orang lain," kata lulusan SMK itu.
Tak mandiri
Peneliti lapangan di Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia, Haryono, mengatakan, tingginya ketergantungan Jakarta pada pembantu ini kait-mengait dengan masalah kota hingga gaya hidup. Bagi pasangan bekerja di Jakarta, pembantu menjadi kebutuhan.
Rendahnya minat menjadi pekerja rumah tangga disebabkan, antara lain, oleh gengsi, makin tingginya kesadaran akan konsep hak, bertambahnya pilihan kerja, upah tak memadai, dan tingginya risiko.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, menambahkan, ketergantungan pada pembantu juga terkait status sosial seseorang dan ciri masyarakat tak mandiri. Kentalnya kultur feodal di Indonesia dipandang ikut berperan pada ketergantungan ini. Selain itu, kelas menengah di Indonesia secara sosial politik memang bukan kelas menengah yang mandiri dan teguh, masih butuh bantuan pembantu.
Tingginya ketergantungan pada pembantu dinilai belum diiringi perhatian layak pada para embak itu. Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini mengatakan, RUU Pekerja Rumah Tangga yang sudah dibahas 12 tahun belum ada kejelasan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Desember 2016, di halaman 1 dengan judul "Legenda "Si Embak" di Tengah Kegalauan Warga Kota".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.