Oleh: WINDORO ADI & DIAN DEWI PURNAMASARI
Kemayoran. Sudah sejak era VOC, nama salah satu kawasan kantong Betawi di Jakarta Pusat ini kondang oleh keroncong dan "maen pukul" alias pencak silat. Di tempat inilah sosok Keroncong Tugu, Semper, Jakarta Utara, diubah menjadi "keroncong Indonesia".
Kemayoran juga dikenal sebagai gudangnya jagoan seperti halnya kawasan Rawabelong di Jakarta Barat. Kalau di Rawabelong ada si Pitung, Mat Item, dan Schout van Hinne, Kemayoran punya Murtado, Mandor Bacan, dan Tuan Rusendal.
Kata pendiri Keroncong Bandar Jakarta (2008), Yoyo Muchtar, setelah tumbuh dalam tradisi Betawi sejak awal abad ke-19, silat dan keroncong akhirnya bertemu dalam satu panggung Menoren (seni pertunjukan yang menggabungkan keroncong dan pencak silat).
"Dalam Menoren, posisi pemain keroncong sudah duduk, tidak lesehan lagi, yaitu sejak bas betot (contra bass) masuk dalam keroncong. Itu terjadi sejak 1940-an," kata Yoyo, Selasa (17/1).
Yoyo mengatakan, ada beberapa hal yang membedakan antara Keroncong Tugu dan Keroncong Kemayoran. Pertama soal syairnya. Syair-syair Keroncong Tugu masih campur aduk dengan bahasa Melayu pasar, Belanda, dan Portugis. Sebagian besar lagu Keroncong Tugu juga bernada riang dan jenaka karena untuk mengiringi pesta.
Syair Keroncong Kemayoran sudah menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tema lagunya pun bermacam-macam dengan tempo yang lebih dinamis. Hal lain, "Kalau Keroncong Tugu masih mengenal beat dan birama, Keroncong Kemayoran tidak. Instrumen dimainkan seperti pemain musik memainkan musik-musik jazz. Masing-masing main sendiri-sendiri, tetapi tetap satu kesatuan harmoni," ujar Yoyo.
Selain itu, katanya, Keroncong Kemayoran umumnya diawali suara flute dan atau biola.
Contoh Keroncong Tugu, kata Yoyo, ada pada lagu keroncong "Nasi Goreng". Perhatikan bahasa yang digunakan pada lagu ini: Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei. Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij (Beri saja aku nasi goreng dan telur goreng. Dengan sambal dan kerupuk dan segelas bir).
Tampilan musik Keroncong Kemayoran, kata Yoyo, ada pada lagu-lagu Betawi, seperti "Jali-jali", "Kicir-kicir", dan "Cente Manis". "Lagu-lagu ini menjembatani peralihan dari keroncong Betawi ke keroncong Indonesia," ujar Yoyo.
Mengapa keroncong cepat menemukan bentuk keindonesiaannya justru di Kemayoran? Karena banyak "buaya keroncong" terpelajar tinggal di Kemayoran. Sebut saja, misalnya, Ismail Marzuki.
Buku Batavia 1740, Menyisir Jejak Betawi (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2010) menyebutkan, Keroncong Tugu mulai dibawa dan diubah di Kemayoran tahun 1918-1919 oleh pemuda yang tinggal di sana. Musisi Keroncong Kemayoran yang populer saat itu, antara lain, Atingan, J Dumas, Jan Scheneider, Kramer, M Sagi, Any Landow, dan Ismail Marzuki.
Pada akhir abad ke-19, di Kemayoran muncul kelompok pengamen jalanan remaja Indo-Belanda yang kemudian dikenal bernama De Wandelende Kerontjong. Para gadis dari kalangan menengah-atas kala itu banyak yang tergila-gila pada kelompok anak band ini.
Tahun 1920-1945, keroncong mulai dipengaruhi irama off beat dance dan Hawaiian. Keroncong pun mulai diperdengarkan di radio-radio, seperti NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij), CIRVO (Chineese en Inheemse Radio Luisteraars Vereniging Oost Java), dan VORO (Vereniging voor Oostersche Radio Omroep). Pasar Gambir, Jakarta, mulai menyelenggarakan Kerontjong Concours (Festival Keroncong) setiap tahun.
Salah satu peserta festival yang kemudian populer adalah Orkes Lief Java. Orkes ini awalnya bernama Rukun Agawe Santosa, didirikan tahun 1918 oleh Suwardi dan Abdullah Kusumowijoyo. Berubah nama menjadi Orkes Lief Java saat kelompok ini beranggota orang-orang Indo-Belanda tahun 1923.
Lief Java mengadakan latihan di rumah Abdullah Kusumowijoyo yang terletak di lingkungan Jalan Kepu, Kemayoran. Di sana berkumpul musisi Dumas, Dekar Zahirdin, Memed Soeroso, Poeng Soewarso, Kartolo Yahya, dan Ismail Marzuki dengan sejumlah penyanyi, seperti Miss Roekiah dan Wolly Soetinah.
"Maen pukul"
Akhir tahun 1990-an, kelompok keroncong di Kemayoran mulai berguguran. Kini, kata Yoyo, jumlahnya tinggal 2-3 kelompok. "Itu pun hidupnya bergantung pada pesanan tampil di TVRI atau RRI," ujarnya.
Tidak demikian dengan "maen pukul" di Kemayoran yang masih bertahan karena kedekatannya dengan lingkungan langgar bersejarah milik mualim di sana.
"Mereka antara lain Mualim Sabeni, Soreh, Saidan, Mardoha, Suaeb, dan Nuri," kata Ahmad Suaeb, jawara silat dari Perguruan Sutra Baja yang ditemui Selasa lalu.
Dia mengatakan, maen pukul di Kemayoran bukan hanya bisa dihubungkan dengan Menoren, melainkan juga dengan ondel- ondel dan gambang keromong.
Menurut pria yang akrab dipanggil Dafi ini, tahun 1950-an, pada era Bokir bermain lenong, ada satu kelompok lenong kesohor bernama Lenong Silantur (dari kata suka melantur/ngelantur). Lenong ini mengiringi tarian ondel-ondel. Kemeriahan tontonan ini berawal dari makam Kumpi Nyonye (Leluhur Nyonya) ke lokasi penanggap yang sedang berhajat.
Penari ondel-ondel kala itu harus pandai pencak silat. Meliuk dan melompat ke sana kemari.
Setelah mengadakan doa bersama di makam Kumpi Nyonye, ondel-ondel diarak ke acara yang punya hajat diiringi musik lenong.
Penari ondel-ondel menari dalam kondisi kesurupan (trance). Bisa dibayangkan jika jagoan maen pukul yang kesurupan tiba-tiba menyerang penontonnya. Itulah yang membuat anak-anak takut dekat dengan penari ondel-ondel.
"Kala itu gigi ondel-ondel pria masih bertaring panjang dengan wajah merah lebih gelap. Menyeramkan," kata Dafi, yang sejak 2006 tekun menyisir dan mempelajari sejarah Kemayoran, kampung kelahirannya.
Ia mengaku sudah tidak mengalami masa Lenong Silantur. Meski demikian, makam Kumpi Nyonye sampai sekarang masih dihormati warga sekitar dan pendatang. "Sekarang tinggal tiga makam keramat yang ada. Letak makam keramat tersebut ada di Gang Keramat, Sumur Batu," katanya.
Dafi menduga, setelah era tersebut berakhir, pencak silat di tanah Betawi murni full body contact seperti di perguruan silat yang ia pimpin, Sutra Baja (berdiri tahun 1950).
Menurut Dafi, pada awal ia belajar maen pukul bersama ayahnya, tidak dikenal nama perguruan di Betawi. Yang ada hanya istilah "maen pukul". "Dulu istilahnya, maenan orang Tanah Abang, orang Kwitang, orang Rawabelong, dan seterusnya," kata Dafi.
Ia menduga, sebagai gudangnya jagoan pencak silat di Jakarta Pusat, Kemayoran dulu tidak kalah terkenal dengan Tanah Abang. Dafi lalu bercerita tentang seorang jagoan muda asal Kemayoran yang bisa menikahi anak seorang jagoan dari Tanah Abang.
Saat ini Kecamatan Kemayoran dihuni 252.800 warga dengan tingkat kepadatan penduduk, seperti disampaikan Camat Kemayoran Herry Purnama, 34.895 jiwa per meter persegi.
Dafi mengatakan, warna budaya Betawi di Kemayoran telah memudar. Kini yang menonjol di Kemayoran justru kompleks-kompleks apartemen jangkung.
Meski demikian, Dafi dan Yoyo masih punya harapan, suatu hari nanti, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberi ruang kesenian dan tradisi Betawi di apartemen, mal, dan sentra pameran di kawasan tersebut.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Januari 2017, di halaman 28 dengan judul "Keroncong dan "Maen Pukul" di Menoren".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.