Mereka adalah ibu-ibu pemulung yang tinggal di lapak-lapak belakang bangunan tersebut. Di lantai dua, ada kelas mengajar khusus untuk anak-anak.
“Ini kebetulan sedang ada kegiatan (mengajar). Beberapa dari mereka adalah anak pemulung,” menunjuk salah satu kelas yang diisi 4-5 orang anak usia di bawah 10 tahun.
Anak-anak itu duduk mendengar pengajar berbicara. Dengan buku tulis dan pensil di meja, mereka seolah siap-siap mencatat apa pun yang keluar dari mulut pengajar.
Suka-duka pengajar
Tiap cabang yayasan, kata Aslih, memiliki segmentasi anak didik yang berbeda. Kalau di Lebak Bulus, kebanyakan berasal dari keluarga pemulung.
“Tidak gampang mengajarnya. Anak-anak itu sudah tahu cara cari duit semua. Kadang mereka serempak enggak datang belajar (ke sini) karena sibuk mulung,” kata Aslih.
Ratnasari (22), seorang tenaga pengajar yang ditemui Kompas.com, berbagi soal suka-duka mengajar di tempat itu.
Selesai menunaikan shalat Magrib, ia bersedia diwawancara. Kelas mengajarnya baru selesai pukul setengah enam sore tadi.
Di Lebak Bulus, tugas Ratna mengajar anak-anak pemulung untuk membaca dan berbahasa Inggris.
Selain itu, dia bertugas mengajar warga yang ingin mengejar ijazah lewat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Ratna masih ingat kala pertama mengajar di Lebak Bulus. Ketika itu, anak-anak didiknya yang berasal dari keluarga pemulung itu tak berperilaku sesuai umurnya.
“Masih di bawah 10 tahun, omongan kasar. Kalau diberitahu, biasanya melawan. Mereka merasa kalau sudah punya penghasilan tak perlu lagi belajar,” kata dia.
Padahal, untuk mengajar mereka, Ratna juga berkorban. “Peci miring, ingusan, dan aroma tubuh bau sampah karena habis mulung. Pelan-pelan kami didik,” ujar Ratna menggambarkan.
Kata Ratna, anak-anak didiknya itu butuh waktu enam bulan untuk mau disiplin datang dengan pakaian rapi.