Suhu politik jelang pencoblosan untuk Pilkada DKI semakin menghangat. "Perang" di dunia nyata dan dunia maya semakin deras terasa.
Belakangan, "perang" itu semakin diramaikan dengan proses hukum terkait calon yang ikut kontestasi, baik cagub maupun cawagub.
Adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang pertama terkena politik sandera ini. Ahok harus mempertanggungjawabkan pernyataannya yang dianggap menodai agama saat melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu.
Ahok pun dilaporkan sejumlah ormas. Desakan penyelesaian kasus Ahok menjadi rangkaian panjang, beberapa kali aksi dalam jumlah masif digelar untuk mendesak agar kasus Ahok dilanjutkan.
Polisi pun akhirnya melanjutkan dan menjadikan Ahok sebagai tersangka dalam kasus penodaan agama. Selama masa kampanye Desember 2016 - Februari 2017 ini, Ahok harus berhadapan dengan jaksa dan melakukan pembelaannya di meja hijau.
Kemudian, ada Sylviana Murni. Birokrat yang juga calon wakil gubernur dari Agus Harimurti Yudhoyono, dan mantan None Jakarta ini tak lepas dari politik sandera.
Suami Sylvi, Gde Sardjana sempat dipanggil oleh penyidik Polda Metro Jaya terkait perkara makar. Sardjana disebut-sebut memberikan sejumlah uang kepada tersangka makar, Jamran. Sardjana pun membantahnya.
Tak hanya itu, nama Sylvi pun masuk dalam orang yang perlu dimintai keterangannya oleh pihak kepolisian dalam dua kasus dugaan korupsi. Pertama pembangunan masjid Al Fauz di Kompleks Wali Kota Jakarta Pusat di tahun 2010. Saat itu Sylvi menjabat sebagai Wali Kota dan menganggarkan kegiatan tersebut.
Kemudian, polisi juga membutuhkan keterangan Sylvi dalam kasus dugaan pengelolaan dana bantuan sosial di Kwarda Pramuka tahun 2014-2015. Ketika itu Sylvi menjabat sebagai Ketua Kwarda Pramuka DKI Jakarta. Sylvi pun memenuhi panggilan tersebut dan membantah terlibat.
Belakangan, Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pun ikut dalam pergolakan politik terkini. Ia beberapa kali berkomentar terkait perpolitikan di tingkat Jakarta.
Langkah politik SBY tidak lepas dari debut politik Agus Harimurti Yudhoyono di Pilkada DKI 2017. Kelompok Cikeas disebut-sebut dalam berbagai aksi dan gerak-gerik politik yang menyerang Ahok.
Di kubu seberang, nama Antasari Azhar yang muncul belakangan juga kerap dikaitkan sebagai "senjata" baru untuk menyerang SBY.
Jika menengok ke belakang, saat Pilpres 2014, publik pernah merasakan politik sandera yang dilakukan oleh dua kubu. Kubu Koalisi Kebangsaan yang memenangkan Joko Widodo sebagai presiden, dan kubu Koalisi Merah Putih yang menguasai parlemen.
Sempat ada tarik menarik dari masing-masing kubu, bahkan pernah ada suatu masa ketika menteri dari kabinet yang disusun Jokowi menolak hadir undangan dari parlemen.
Keadaan itu tidak berlarut-larut. Jokowi paham politik semacam ini tidak sehat. Negara tidak dapat berjalan dengan baik jika ada instabilitas di pemerintahan.
Karena itu, Jokowi pun melakukan lobi-lobi. Beberapa partai akhirnya melunak. Kursi menteri akhirnya ada yang diserahkan pada partai seberang. Parlemen pun akhirnya lebih "bersahabat".
Harus kompromi
Kekuasaan itu memabukkan, karena itu jika terlalu banyak memegang kekuasaan maka ia akan membuat pemegangnya mabuk.
Politik itu juga berbagi kue, berbagi kekuasaan, supaya tidak ada yang terlewat sakit hati berkepanjangan hingga terbawa perasaan. Karena tidak ada lawan yang abadi.
Merangkul pihak yang berseberangan adalah sikap negarawan sejati karena ia sadar kepentingan negara lebih besar daripada kepentingan golongan, apalagi kepentingan sesaat.
Karena sejatinya, kita semua ini memiliki tujuan yang sama, untuk kebaikan negeri ini, untuk kebaikan kita bersama.
Jalin komunikasi
Founding father Amerika Serikat, James Madison pernah berkata, "if men were angels, no government would be necessary".
Kutipan itu relevan untuk mencermati kenapa manusia itu saling membutuhkan, tanpa melihat kebaikannya saja, tapi juga melihat keburukan yang pernah dia lakukan.
Keburukan untuk perhelatan politik, terlebih pilkada, seperti koreng yang gatal ingin digaruk. Padahal, di tubuh kita masih banyak yang lebih nikmat untuk diusap, bukan sekedar digaruk.
Terlepas dari persoalan hukum yang terjadi pada Ahok, dan kini juga Sylvi yang namanya terseret-seret, politik sandera itu tidak sehat. Memang, dalam memilih pemimpin itu sejatinya masyarakat harus tahu kualitas dan keberpihakan orang tersebut pada rakyat dan antikorupsi.
Publik juga tahu, hukum sering dijadikan pedang untuk menebas lawan politik, tak peduli siapa dia karena hukum sejatinya itu buta.
Kadang persoalan yang terjadi itu karena komunikasi yang tidak terjalin di antara pihak-pihak yang "bertikai". Karena itu, dibutuhkan kearifan dua pihak, atau beberapa pihak untuk meredam konflik dengan saling bertemu dan berkomunikasi.
Bukankah silaturahmi itu juga penting, selain supaya tidak ada salah paham juga merupakan perintah oleh agama.
Memulai silaturahmi untuk saling berkomunikasi memang tidak mudah, setidaknya berpikirlah untuk kepentingan yang lebih besar. Niscaya akan tercipta ketenangan dan kedamaian, percayalah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.