Teguh Esha, ya Teguh Slamet Hidayat Adrai, lahir di Banyuwangi, 8 Mei 1947, dan dibesarkan di kampung ayahnya di Bangil, Jawa Timur. Masa kecilnya diisi dengan membaca komik silat, komik wayang R.A. Kosasih, dan novel-novel detektif.
“Kalau saya mengirim surat ke saudara saya di Jakarta, saya suka memakai nama samaran dari komik, seperti Beruang Merah,” kata Teguh di rumahnya di Bintaro, Jakarta Selatan.
Menurut penuturannya, selepas kelas V sekolah dasar, dia pindah ke Jakarta atas permintaan kakak iparnya, Mohamad Saleh, diplomat dan bapak sutradara Rizal Mantovani.
“Dia yang menyekolahkan saya dan saudara saya,” kata Teguh.
Dia dan saudara-saudaranya tinggal di Jalan Jati, Petamburan. Setamat SMA IX, dia kuliah di Fakultas Teknik Sipil Universitas Trisakti pada 1966, tapi hanya bertahan dua semester.
Di mata saya, Teguh adalah seorang provokator ulung, yang mampu meyakinkan lawan bicaranya sedemikian rupa agar mengikuti saran atau kemauan dirinya. Berkali-kali, sejak saya bertemu dengan Teguh di awal tahun 90an, saya diintimidasi agar keluar dari pekerjaan sebagai seorang wartawan dan total menjadi seniman. Untunglah saya masih kuat "iman", hehehe, sehingga tidak terperdaya untuk meninggalkan pekerjaan tetap saya sebagai wartawan. Maklumlah, saya harus berhitung cermat untuk menggangtungkan hidup sebagai seniman. Sebab di belakang saya ada istri dan tiga anak.
Pertama bertemu di awal tahun 90an, di Gedung Wanita Pertamina Simprug. Kami sama-sama menjadi juri sebuah lomba cipta lagu. Pada perjumpaan pertama itu, saya langsung terkesima oleh gaya bicaranya yang ceplas-ceplos. Begitu tahu minat saya terhadap musik tradisi, Teguh pun memberondong saya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang musik tradisi. Nyaris lupa bagaimana saya menjawab pertanyaan-pertanyaan Teguh, tapi dari matanya saya tahu, Mas teguh telah "jatuh cinta" kepada saya.
Yang saya ingat, saya hanya bercerita tentang beberapa observasi saya mengenai musik-musik etnik Jawa dan musik pesisiran, serta tentu saja kegemaran saya bermusik.
Itulah sebabnya, saat bertemu kembali di ruang tamu kantor Tabloid Citra Musik, Teguh Esha yang baru menyimak permainan musik saya langsung memprovokasi saya, "Sudah, jadi seniman aja, ngapain jadi wartawan segala."Kekuatan "meyakinkan" atau memprovokasi itulah yang rupanya justru menjadi modal Teguh dalam menulis. Bayangkanlah, bagaimana Teguh bisa membangun karakter pemuda Ali Topan yang urakan dan jauh dari "pemuda idaman" kala itu yang harusnya menurut kata orang tua dan guru, menjadi idola anak muda seluruh Indonesia.
Saya ingat betul, betapa anak-anak seusia saya yang kala itu masih SMP, berlomba-lomba menjadi manusia merdeka, semau gue, tapi sekaligus pintar. Maka diam-diam, saya pun merahasiakan waktu dan tempat belajar saya agar semua orang mengira saya tak pernah belajar tapi pintar, ya mirip si Topan itulah.
Kepada saya Teguh juga pernah bercerita, di awal kariernya sebagai penulis, sebetulnya bermula dari semacam kesombongan dirinya yang menilai "jelek" atas sebuah cerita pendek yang dimuat di koran "Utusan Pemuda".
Kepada Pemimpin Redaksi Utusan Pemuda Dadi Honggowongso, Teguh mengatakan, “Cerpen jelek ini kok dimuat?” Terang saja, Dadi bertanya seraya menantang Teguh, "Eh elu bisa bikin enggak?"
Konon, semalam suntuk Teguh menulis cerpen "tantangan" itu. Setelah jadi, cerita itu dia serahkan kepada Dadi, yang ternyata memuatnya pada edisi Minggu. “Itu cerpen pertama saya. Judulnya lupa. Temanya tentang detektif. Pokoknya tokoh saya hitam-putih saja,” kata Teguh.
Semenjak itulah, Teguh terpacu untuk terus menulis. Terlebih, Djoko Prajitno dan Kadjat Adrai, dua kakaknya yang sudah jadi wartawan, mendorong Teguh jadi penulis. Teguh pun bekerja sebagai wartawan di Utusan Pemuda, yang terbit dua kali seminggu. Dia lantas memperdalam jurnalistik di Fakultas Publisistik Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), tapi tak tamat juga.
Semangat Mas, semoga Tuhan memberimu kesehatan dan kebahagiaan.
@JodhiY