Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penasihat Hukum Ahok Bacakan "Amicus Curiae" yang Diajukan LBH Jakarta

Kompas.com - 25/04/2017, 16:13 WIB
Kurnia Sari Aziza

Penulis

Sehingga memunculkan gerakan massa 411, 212 dan 313 yang juga dilegitimasi oleh pendapat salah satu ormas Islam dengan dikeluarkannya fatwa MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama.

Tekanan massa dan penggunaan fatwa MUI yang dijadikan dasar proses peradilan pidana Ahok dengan pasal penodaan agama merupakan tindakan yang merusak negara demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi penegakkan hukum-supremacy of law.

Perilaku sesat berdemokrasi dan pelecehan hukum seperti ini sepanjang sejarah memang selalu terjadi dalam penggunaan pasal penodaan agama, sejak hari dilahirkannya kebijakan tersebut.

Mulai dari penguasa sampai masyarakat awam tak lepas dari jerat pasal ini. Kriminalisasi menggunakan pasal penodaan agama jelas justru meruntuhkan tatanan penegakan hukum, demokrasi, dan kebhinekaan di Indonesia.

LBH Jakarta sudah sejak lama mengkritisi keberadaan kebijakan ini. Namun pemerintah dan DPR sama sekali tidak bergeming untuk menyelesaikannya.

Berdasarkan amicus curiae yang diberikan tersebut, LBH pun menyampiakan 4 rekomendasi kepada Majelis Hakim pada perkara Ahok sebagai berikut:

1. Agar majelis hakim pada perkara 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam memutus perkara a quo.

Terutama yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagaimana dijamin di dalam konstitusi, yaitu pasal 27 ayat 1, pasal 28 E ayat 1 dan 3, pasal 28 I ayat 2, dan pasal 28 D UUD 1945.

2. Agar majelis hakim menerapkan pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, dan oleh karenanya mens rea untuk memenuhi unsur huruf b Pasal 156a KUHP yang tidak diuraikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaannya tidaklah terpenuhi.

3. Agar majelis hakim dapat menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya, seperti dengan mengacu pada: (1) Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut sebelum menerapkan pasal dengan sanksi pidana; dan (2) Menerapkan asas lex posterior derogat legi priori.

Sehingga tidak serta merta menerapkan pasal 156a KUHP yang jelas bertentangan dengan Konstitusi, UU Nomor 9/1998, UU 39/1999 dan UU 12/2005;

4. Agar majelis hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa. Sehingga penggunaan pasal 156a KUHP, khususnya pada unsur "mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia" dapat dihindari karena terlampau multitafsir.

Selain itu, LBH Jakarta juga menyampaikan masukannya kepada pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan review terhadap kebijakan-kebijakan anti demokrasi.

Dalam hal ini PNPS Nomor 1 Tahun 1965 dan pasal 156a KUHP. Karena jelas pasal-pasal tersebut akan meruntuhkan kehidupan demokrasi dan iklim kebhinekaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sespri Iriana Jokowi Optimistis Diusung Parpol untuk Maju di Pilkada Bogor 2024

Sespri Iriana Jokowi Optimistis Diusung Parpol untuk Maju di Pilkada Bogor 2024

Megapolitan
Pilkada DKI Jalur Independen Dinilai Sepi Peminat karena Beratnya Syarat Dukungan

Pilkada DKI Jalur Independen Dinilai Sepi Peminat karena Beratnya Syarat Dukungan

Megapolitan
Maju Pilkada Jakarta, Dharma Pongrekun: Dukungan Rakyat yang Menitipkan Masa Depannya

Maju Pilkada Jakarta, Dharma Pongrekun: Dukungan Rakyat yang Menitipkan Masa Depannya

Megapolitan
Gunungan Sampah Longsor, TPA Cipayung Depok Sudah Tutup 2 Hari

Gunungan Sampah Longsor, TPA Cipayung Depok Sudah Tutup 2 Hari

Megapolitan
Soal Wacana Juru Parkir Liar Minimarket Diberi Pekerjaan, Pengamat: Lebih Baik Dijadikan Jukir Legal

Soal Wacana Juru Parkir Liar Minimarket Diberi Pekerjaan, Pengamat: Lebih Baik Dijadikan Jukir Legal

Megapolitan
Walkot Tangsel Sebut “Study Tour” ke Luar Daerah Bisa Diganti Kegiatan Sosial

Walkot Tangsel Sebut “Study Tour” ke Luar Daerah Bisa Diganti Kegiatan Sosial

Megapolitan
Kumpulkan 749.298 Dukungan Warga untuk Pilkada DKI, Dharma Pongrekun: Kuasa Tuhan

Kumpulkan 749.298 Dukungan Warga untuk Pilkada DKI, Dharma Pongrekun: Kuasa Tuhan

Megapolitan
Menurut Pakar, Dua Hal Ini Bikin Cagub Independen DKI Jakarta Sepi Peminat

Menurut Pakar, Dua Hal Ini Bikin Cagub Independen DKI Jakarta Sepi Peminat

Megapolitan
Pelabuhan Tanjung Priok Macet Total Hari Ini, Pengendara: Bikin Stres

Pelabuhan Tanjung Priok Macet Total Hari Ini, Pengendara: Bikin Stres

Megapolitan
Macet Total di Pelabuhan Tanjung Priok-Cilincing, Sopir JakLingko Habiskan 3 Jam Sekali Narik

Macet Total di Pelabuhan Tanjung Priok-Cilincing, Sopir JakLingko Habiskan 3 Jam Sekali Narik

Megapolitan
Kecelakaan SMK Lingga Kencana, Pengamat Transportasi: Insiden Serupa Terjadi Hampir Setiap Hari

Kecelakaan SMK Lingga Kencana, Pengamat Transportasi: Insiden Serupa Terjadi Hampir Setiap Hari

Megapolitan
Sespri Iriana Jokowi Optimistis Maju Cawalkot Bogor meski Belum Ada Partai Pengusung

Sespri Iriana Jokowi Optimistis Maju Cawalkot Bogor meski Belum Ada Partai Pengusung

Megapolitan
Walkot Tangsel Minta Sekolah Tunda Kegiatan 'Study Tour' ke Luar Daerah

Walkot Tangsel Minta Sekolah Tunda Kegiatan "Study Tour" ke Luar Daerah

Megapolitan
Dharma Pongrekun Fokus Perbaiki Syarat Dokumen untuk Maju Cagub Independen DKI Jakarta

Dharma Pongrekun Fokus Perbaiki Syarat Dokumen untuk Maju Cagub Independen DKI Jakarta

Megapolitan
Baik dan Buruk 'Study Tour' di Mata Orangtua Murid, Ada yang Mengeluh Kemahalan...

Baik dan Buruk "Study Tour" di Mata Orangtua Murid, Ada yang Mengeluh Kemahalan...

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com