Veni menyebut, sepanjang 2017 ini, sudah tiga kasus korban kekerasan seksual yang menjadi terdakwa atas kematian bayi yang dilahirkan akibat perkosaan.
"Berdasarkan kasus yang kami tangani, korban kekerasan seksual umumnya tidak mengetahui kehamilan dirinya, dan sudah datang ke dokter, namun dokter menyatakan tidak hamil, kemudian melahirkan tanpa penolongan dan membuang bayinya," katanya.
Hal yang sama diungkap ahli kesehatan reproduksi dr Budi Wahyuni yang juga menjadi saksi ahli dalam kasus ini.
Menurut dia, sangat dimungkinkan pada zaman ini masih ada anak yang tidak mengerti kehamilan karena memang tidak pernah mendapat informasi tentang itu.
"Pendidikan kesehatan reproduksi masih terus diperdebatkan, dan anak-anak akhirnya mendapatkan informasi yang tidak benar, milsalkan kalau masih mentruasi berarti tidak hamil, padahal kehamilan hanya bisa dibuktikan dengan tes urine dan USG," ujar Budi.
Untuk itu, LBH Apik menuntut BL dibebaskan dan mendapatkan rehabilitasi. MO, pemerkosanya, juga dituntut agar bertanggung jawab secara pidana atas kematian bayi yang dikandung BL.
(Baca juga: Keluarga dan Pengacara Minta Remaja yang Buang Bayinya Dibebaskan)
LBH Apik juga menuntut agar Jaksa Pengawas dan Komisi Kejaksaan RI memeriksa Jaksa Penuntut Umum serta Kasipidum Kejaksaan Negara Jakarta Selatan atas tuntutan melebih ancaman pidana maksimal dan hukum acara pidana.
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung juga diminta untuk melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas kepada hakim kasus anak untuk melaksanakan persidangan yang ramah anak.
Jaksa dalam kasus ini adalah Agnes Renitha Butar Butar, sedangkan majelis hakimnya yakni Fahima Basyir, Martin Ponto, dan Rusdianto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.