Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aiman Witjaksono
Jurnalis

Jurnalis

Kebiadaban Massa di Bekasi, Ada Apa dengan Kita?

Kompas.com - 14/08/2017, 08:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

 

Sampai saya menulis artkel ini, saya masih terus menyisir video-video yang berada di media sosial untuk saya laporkan agar segera dihapus!

Sungguh saya tak punya jawaban, kenapa ada banyak sekali orang yang begitu tega membiarkan orang di depan matanya disiksa dan dibakar hidup-hidup!

Bahkan, ada anak-anak yang menyaksikan proses yang berlangsung selama lebih dari 10 menit itu.

Berdasarkan fakta ini, saya tergerak untuk mengangkat topik ini dalam program AIMAN yang akan tayang hari ini, Senin (14/8/2017), pukul 20.00 wib di KompasTV.

Saya mencoba mencari jawaban dari orang-orang yang ada paling dekat di sekitar kejadian.

Saya berangkat, hampir 3 jam perjalanan menuju ke lokasi di Babelan, kabupaten Bekasi, sekitar 30-40 kilometer dari Ibu Kota Jakarta.

Menyusuri jalan yang kecil beberapa puluh kilometer menuju ke lokasi di Pasar Muara, Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Saya tiba di sebuah desa, di pinggir Laut Jawa.

Penelusuran saya mulai dari mushala, lokasi pencurian amplifier. Zoya yang memiliki nama asli
Muhammad Aljahra dituduh mencuri amplifier mushala sebelum ia dibakar massa.

Di mushala milik pribadi itu saya bermaksud bertemu Rojali sang pemilik. Rojali yang pertama kali menduga Zoya adalah pencuri amplifier itu.

Saya gagal bertemu Rojali. Padahal, dua hari sebelumnya Rojali menyatakan bersedia diwawancara. Namun, selama dua hari berturut-turut saya berada di lokasi, Rojali tak bisa saya jumpai. Alasannya, ada urusan lain.

Pada saat yang bersamaan polisi terus mengembangkan penyidikan dan menetapkan sejumlah tersangka.

Tiba-tiba membatalkan

Saya tidak menyerah. Saya mengelilingi rumah Rojali. Lagi-lagi saya mendapatkan jawaban tidak bersedia diwawancara. Alasannya, mereka mengaku tidak ada di tempat saat peristiwa pembakaran terjadi.

Padahal yang saya tanya adalah para pemilik warung yang berada persis di depan mushala. Saya pun bergegas menuju ke tempat kejadian perkara di Pasar Muara, Babelan, sekitar 4 kilometer dari lokasi hilangnya amplifier.

Saya ulangi cara saya menelusuri kejadian di sana. Bahkan di tempat kejadian perkara, saya melihat masih ada dinding selokan yang berwarna hitam terbakar api.

Di selokan inilah korban dihakimi massa hingga mengalami luka bakar serius di tubuhnya. Lagi-lagi, tak ada satu pun orang di sini , yang bersedia saya wawancara.

Kepala Keamanan Pasar yang sebelumnya bersedia diwawancara tiba - tiba membatalkan. Demikian pula dengan orang-orang yang ada di sekitar lokasi.

Saya sengaja datang ke lokasi di saat waktu yang sama dengan waktu kejadian. Saya ingin mengamati ramainya suasana persis saaat kejadian terjadi.

Daerah itu memang sungguh ramai, terutama oleh lalu-lalang sepeda motor. Begitu ramainya, sampai-sampai menyeberang jalan pun sulit. Padahal, lebar jalan hanya sekitar dua lajur mobil.

Rupanya orang-orang di sekitar lokasi ini takut memberikan pernyataan karena polisi terus mengembangkan kasus ini. Mereka yang berada di lokasi kejadian tidak ingin dianggap terlibat.

Informasi saya dapatkan, ada kerumunan orang sepanjang 100 meter di lokasi jalan itu, pada selasa (1/8) sore, dua pekan lalu. Jika lebar jalan 7 meter, artinya 700 meter persegi dipenuhi oleh orang.

Artinya, kemungkinan ada ribuan orang saat kejadian. Selain menyaksikan, sebagian dari mereka ikut menyiksa Zoya hingga membakarnya.

Ada apa dengan kita?

Pertanyaan selanjutnya, mengapa ini bisa terjadi?

Mengapa ada waktu lebih dari 10 menit dan tak ada dari ribuan orang itu yang mencoba mencegah terjadinya penghakiman massa, bahkan penyiksaan sadis?

Dua kata kunci, lebih dari 10 menit dan bahkan mungkin ada ribuan orang. Tak ada satu pun yang menolong. Ada apakah gerangan?

Saya yakin jawabannya tak bisa didapat hanya dengan melihat rasio indeks Gini yang mengukur secara statistik ketimpangan si kaya dan si miskin yang nilainya masih tinggi terutama di kota kota di Indonesia termasuk Jakarta dan sekitarnya.

Nilai Indeks Gini sering dikaitkan dengan gesekan dan kerusuhan sosial di masyarakat. Apakah jawabnya ada di sektor pendidikan? Tidak sesederhana itu.

Saya menantang kriminolog atau sosiolog untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Kita berharap, tak pernah ada lagi peristiwa serupa yang luar biasa biadab di kota-kota di negeri kita dan di manapun di dunia.

Semoga.

Saya Aiman Witjaksono,

Salam!

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kecelakaan di UI, Saksi Sebut Mobil HRV Berkecepatan Tinggi Tabrak Bus Kuning

Kecelakaan di UI, Saksi Sebut Mobil HRV Berkecepatan Tinggi Tabrak Bus Kuning

Megapolitan
Polisi Periksa 10 Saksi Kasus Tewasnya Siswa STIP yang Diduga Dianiaya Senior

Polisi Periksa 10 Saksi Kasus Tewasnya Siswa STIP yang Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Diduga Ngebut, Mobil Tabrak Bikun UI di Hutan Kota

Diduga Ngebut, Mobil Tabrak Bikun UI di Hutan Kota

Megapolitan
Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Tinggalkan Mayat Korban di Kamar Hotel

Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Tinggalkan Mayat Korban di Kamar Hotel

Megapolitan
Siswa STIP Dianiaya Senior di Sekolah, Diduga Sudah Tewas Saat Dibawa ke Klinik

Siswa STIP Dianiaya Senior di Sekolah, Diduga Sudah Tewas Saat Dibawa ke Klinik

Megapolitan
Terdapat Luka Lebam di Sekitar Ulu Hati Mahasiswa STIP yang Tewas Diduga Dianiaya Senior

Terdapat Luka Lebam di Sekitar Ulu Hati Mahasiswa STIP yang Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Dokter Belum Visum Jenazah Mahasiswa STIP yang Tewas akibat Diduga Dianiaya Senior

Dokter Belum Visum Jenazah Mahasiswa STIP yang Tewas akibat Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Polisi Pastikan RTH Tubagus Angke Sudah Bersih dari Prostitusi

Polisi Pastikan RTH Tubagus Angke Sudah Bersih dari Prostitusi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Diduga akibat Dianiaya Senior

Mahasiswa STIP Tewas Diduga akibat Dianiaya Senior

Megapolitan
Berbeda Nasib dengan Chandrika Chika, Rio Reifan Tak Akan Dapat Rehabilitasi Narkoba

Berbeda Nasib dengan Chandrika Chika, Rio Reifan Tak Akan Dapat Rehabilitasi Narkoba

Megapolitan
Lansia Korban Hipnotis di Bogor, Emas 1,5 Gram dan Uang Tunai Jutaan Rupiah Raib

Lansia Korban Hipnotis di Bogor, Emas 1,5 Gram dan Uang Tunai Jutaan Rupiah Raib

Megapolitan
Polisi Sebut Keributan Suporter di Stasiun Manggarai Libatkan Jakmania dan Viking

Polisi Sebut Keributan Suporter di Stasiun Manggarai Libatkan Jakmania dan Viking

Megapolitan
Aditya Tak Tahu Koper yang Dibawa Kakaknya Berisi Mayat RM

Aditya Tak Tahu Koper yang Dibawa Kakaknya Berisi Mayat RM

Megapolitan
Kadishub DKI Jakarta Tegaskan Parkir di Minimarket Gratis

Kadishub DKI Jakarta Tegaskan Parkir di Minimarket Gratis

Megapolitan
Koper Pertama Kekecilan, Ahmad Beli Lagi yang Besar untuk Masukkan Jenazah RM

Koper Pertama Kekecilan, Ahmad Beli Lagi yang Besar untuk Masukkan Jenazah RM

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com