JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah kasus Alawy, pelajar SMAN 6 yang tewas di tangan Fitra Ramadani alias Doyok, siswa SMAN 70, September 2012, jarang terjadi tawuran antarsekolah lagi di Jakarta.
Namun, lima tahun kemudian, tepatnya 27 Oktober 2017, tawuran mematikan kembali terjadi. Kali ini di Kebayoran Baru, salah satu kawasan elite Ibu Kota.
Indra Fajaruddin (17), mantan siswa SMAN 46, tewas setelah terlibat tawuran di kawasan Gandaria pada 27 Oktober 2017. Peristiwa itu terjadi pada dini hari, diduga melibatkan pelajar SMAN 46 dengan SMAN 29. Indra dibacok hingga akhirnya meninggal seminggu kemudian.
"Masih dalam penyelidikan. Anggota telah cross check ke SMAN 29," kata Kanit Reskrim Polsek Metro Kebayoran Baru Kompol Subowo, Selasa (7/11/2017).
Wakil Bidang Humas SMAN 29 Risma membenarkan pihak kepolisian telah datang memeriksa siswanya.
"Cuma kami kurang tahu siapa saja yang dicari kepolisian," kata Risma.
Baca juga: Siswa SMAN 46 Tewas Setelah Tawuran di Gandaria
Menurut Risma, hingga saat ini pihaknya masih menunggu hasil penyelidikan untuk mengambil tindakan terhadap siswa yang diduga terlibat atau bahkan bertanggung jawab atas kematian Indra. Siswa yang terlibat akan langsung dikeluarkan.
"Poinnya langsung 100 itu sudah maksimal dan segera dikeluarkan," ujar Risma.
Benarkah gangster bubar?
Wakil Bidang Humas SMAN 46 Jakarta Subki menilai tawuran yang terjadi pada 27 Oktober itu bukanlah tawuran antarsekolah, melainkan tawuran geng. Pasalnya, Indra sendiri sudah dikeluarkan dari SMAN 46 setahun lalu dan kini menjalani pendidikan di tempat lain.
"Itu sudah dunia malam. Sebetulnya lebih condong tawuran antargeng," kata Subki.
"Saya dapat kabar yang lain dari orangtua bahwa ada anak yang punya keberanian melakukan tawuran menggunakan berbagai senjata tajam karena mereka ada 'pegangan'," ujar Subki.
Subki mengaku pernah menerima sebuah ransel yang tertinggal di lokasi tawuran. Bukannya berisi buku pelajaran, tas tersebut malah berisi berbagai macam jimat. Pegangan atau jimat itu membuat banyak pelajar percaya diri dan nekat mencari perkelahian fisik.
Baca juga: Tawuran yang Tewaskan Mantan Siswa SMAN 46 Diduga Ajang Uji Kekebalan
"Mereka ada level kekebalannya," ujar Subki.
Meski tak bersekolah lagi di SMAN 46, Indra nyatanya memang masih dikenal sebagai anak "Texas", sebutan bagi SMAN 46. Subki mengakui SMAN 46 memang dikenal karena ulah siswanya. Seperti pada Oktober 2013, puluhan siswanya dikeluarkan setelah membajak Metromini S610 untuk tawuran.
Selang setahun lagi, Ahok menerbitkan Instruksi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Bullying serta Kekerasan di Lingkungan Sekolah.
Baca juga: SMAN 46 dan SMAN 29 Akan Keluarkan Siswa yang Terlibat Tawuran
Dalam instruksi gubernur itu, siswa yang terlibat kekerasan, baik pada jam sekolah maupun di luar jam sekolah, tidak diperkenankan melanjutkan pendidikan gratis di sekolah negeri di Jakarta.
Perkara geng yang telah dibubarkan Ahok, Subki mengatakan, sejak di bangku kelas 1 SMA, pihaknya sudah memantau siapa-siapa saja yang bermasalah atau menjadi leader di kelompoknya. Sayangnya, sulit sekali menembus geng-geng yang mengatasnamakan sekolah ini.
"Mereka solidaritasnya kuat sekali. Kami panggil satu-satu tidak pernah ada yang mau mengaku sehingga susah kalau mau menindak," ujar Subki.
Menurut Subki yang sering menangani siswa-siswa SMAN 46 yang bermasalah, sanksi tegas ini seharusnya cukup untuk mencegah aksi kekerasan terjadi lagi. Jika sudah dikeluarkan dari SMA negeri Jakarta karena bermasalah, susah mencari tempat lagi di SMA negeri.
Baca juga: Ditanya Anies soal Kekerasan di Sekolah, Ahok Ceritakan Guru Adiknya
"Contoh buruk sudah ada, sosialisasi sudah kami lakukan. Hampir setiap minggu mengundang pihak kepolisian yang menyampaikan kalau tawuran ada yang meninggal, itu kenanya pembunuhan berencana," ujar Subki.
Sayangnya, masih ada sebagian kecil siswa yang tak acuh pada konsekuensi ini. Mereka tawuran tak lagi di sekolah dan dilakukan pada malam hari. Padahal, jumlah siswa bermasalah ini tak sampai belasan di antara hampir 1.000 siswa. Namun, sebagian besar energi sekolah habis untuk mengurus siswa bermasalah ini.
Selain kesulitan menyadarkan siswa, Subki juga mengatakan kesulitan ada pada orangtua bahwa orangtua juga mengemban tanggung jawab mengawasi anak setelah jam belajar habis. Subki menyayangkan banyak orangtua tak bisa melarang anaknya keluar malam, bahkan dini hari.
"Begitu anaknya kena masalah, tidak terima anaknya dikeluarkan, langsung mengadu ke sana-sini," ujar Subki.
Baca juga: Ahok: Siswa Terbukti Tawuran, Pecat atau Turun Kelas
Subki mengatakan, pihaknya tak akan berusaha melindungi siswa-siswanya yang diduga terlibat tawuran. Menurut dia, tindakan ini sudah termasuk kriminal murni dan pantas ditindak tegas kepolisian.