ARIFIN Kurniawan memiliki tubuh yang lebih tinggi dan besar dibandingkan ayahnya. Ketika saya menemuinya di kuil Fat Cu Kung di kawasan Glodok, Jakarta Barat, pemuda berusia 21 tahun dengan warna rambut agak pirang ini tengah memberikan “pelayanan umat”.
Kedua tangannya terlihat sedang memegang erat-erat kepala seorang lelaki tua dan dari mulutnya meluncur doa-doa dalam bahasa Hokkien. Sang ayah, Kim Kurniawan yang berusia 55 tahun, dengan setia berdiri di belakang punggungnya, menanti sewaktu-waktu anak bungsunya ini membutuhkan bantuannya.
Beberapa saat sebelumnya, pemuda keturunan Tionghoa-Indonesia ini bahkan menggoreskan lidahnya sendiri dengan pedang, dan menggunakan darahnya yang keluar untuk menuliskan huruf China di atas selembar kertas beras China.
Ruangan tempat Arifin memberikan “pelayanan umat” hanya diterangi oleh cahaya merah yang sedikit gelap dan agak menyeramkan.
Baca juga : Ucapan Imlek Pakai Gambar Ayam, Pemerintah Malaysia Minta Maaf
Puluhan atau mungkin ratusan patung-patung dewa besar dan kecil seolah menatap tajam dari sela-sela asap tebal dupa dan suara-suara senandung doa, mengawasi ritual yang berlangsung.
Di hari-hari biasa, Arifin mengaku sama sekali tidak dapat berbicara bahasa Hokkien dan bahkan menulis aksara China. Begitu juga dengan jenggot panjang yang sesungguhnya tidak tumbuh sama sekali dari dagunya.
Untuk Anda ketahui, saat saya menemuinya, Arifin tengah menjadi medium perantara roh dewa. Malam itu, Arifin sedang dirasuki Guan Gong, dewa yang menurut sejarah adalah seorang Jenderal yang biasa dipanggil Guan Yu yang hidup di era kuno “Tiga Kerajaan” China.
Baca juga : 5 Sneaker Keren Edisi Spesial Imlek
Agar dapat memberikan rahmatnya, Guan Gong—yang populer di antara para polisi dan gangster karena kesetiaan dan keberaniannya yang tak tergoyahkan—memasuki tubuh Arifin.
Arifin pun bercerita, setelah menyelesaikan “tugasnya”. Dalam beberapa malam, dia dapat dirasuki empat bahkan lima roh dewa. Untuk itu dia membutuhkan persiapan.
“Saya harus menjaga diri saya tetap suci, setidaknya selama tiga hari, seperti dengan diet vegetarian, menjaga pikiran tetap bersih, dan sering bermeditasi,” tuturnya. “Tapi saya tidak berpikir seperti menjadi Tuhan, karena itu sombong...Saya hanyalah sebuah wadah."
Saat memasuki kedai yang didirikan Kwie Tjong, imigran asal Kanton ini, sejumlah pengunjung terlihat seringkali menyapa Arifin dengan panggilan “Fin”.
Keluarga Arifin memiliki sebuah toko kelontong berukuran 70 meter persegi yang letaknya di Gang Petak Sembilan, tak jauh dari gang Kopi Es Tak Kie berada, dan hanya sekitar lima menit dari kuil Fat Cu Kung, tempat Fin bersembahyang.
Di sebelah kuil itu terdapat Vihara, tempat Arifin memamerkan kepiawaiannya memainkan barongsai. Dia telah menekuni seni Barongsai sejak berusia enam tahun dan telah lama pula menjadi bagian dari grup barongsai Tim Tian Liong.