“Teman-teman yang kuliah di luar negeri, terbiasa berbicara dengan bahasa Inggris, balik ke Indonesia kemudian mereka lebih lancar ngomong bahasa Inggris," kata pria yang aktif menyosialisasikan penggunaan bahasa Indonesia di media sosial ini.
"Kemudian mereka berusaha untuk kembali lagi bahasa Indonesia, akhirnya sebagian besar kosakata itu mereka gunakan kemudian tercampur,” kata Ivan.
Ivan menjelaskan, penggunaan kalimat yang melibatkan lebih dari satu bahasa merupakan sesuatu yang wajar dan sudah biasa terjadi dalam dunia linguistik.
Hal itu biasanya terjadi karena seseorang sedang mempelajari sebuah bahasa baru sehingga belum menguasai seluruh kosakata dalam bahasa itu.
"Kalau kita lihat yang terjadi di dalam 'Anak Jaksel', kosakata yang mereka gunakan untuk dicampur itu bukan kosakata yang sulit sebenarnya kan. Seperti 'which is', 'literally'. Jadi itu bukan dalam rangka untuk belajar bahasa kalau menurut saya," tutur Ivan.
Selain itu, untuk penyebutan istilah-istilah teknis, bahasa asing, terutama Inggris, banyak digunakan karena lebih popular dan lebih dahulu ada.
Misalnya istilah phubbing yang merupakan kosakata dalam bahasa Inggris. Orang Indonesia belum terlalu familiar dengan istilah "mabuk gawai" yang memilki arti sama dengan phubbing. Maka, banyak orang yang menggunakannya.
"Cuma memang untuk istilah sehari-hari seperti kata ‘yang’ diganti jadi 'which is', kemudian kata 'pada dasarnya' diganti dengan 'literally', begitu. Kan itu sesuatu yang tidak wajar," kata Ivan Lanin.
Untuk kasus-kasus seperti ini, penggunaan kata asing biasa disebut sebagai kata pinjaman yang bersifat sementara, sembari menunggu ada kata pengganti yang sesuai dalam bahasa yang biasa kita gunakan.
Namun, Ivan menyebut perlu diadakan penelitian secara ilmiah terlebih dahulu untuk dapat memastikan faktor-faktor di balik fenomena percampuran bahasa yang terjadi pada fenomena "Anak Jaksel" ini.
Penulis buku Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris? (2018) ini mengisahkan beberapa temannya yang berasal dari benua Eropa.
Wilayah daratan yang mereka tinggali menyebabkan jarak antarnegara terletak berdekatan, sehingga masing-masing orang biasa menguasai lebih dari satu bahasa.
"Ya karena mereka berdekatan, umumnya menguasai lebih dari satu bahasa. Bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Perancis," ujar Ivan.
Namun, hal tersebut tidak menjadikan mereka kesulitan untuk membedakan tiap-tiiap kosakata dalam masing-masing bahasa.
"Orang yang bisa berbagai bahasa itu akan berbicara dengan temannya yang bisa bahasa Inggris dengan bahasa Inggris, bicara dengan temannya yang berbahasa Jerman, dengan bahasa Jerman," ucap Ivan.
"Mereka bisa memilah mana yang bahasa Jerman, dan mana yang bahasa Inggris. Satu kalimat satu bahasa, bisa enggak masalah, enggak dicampur-campur," kata dia.
Pada akhirnya, kemampuan menggunakan bahasa yang baik dan benar, menurut Ivan, didasarkan pada kemauan masing-masing indiividu. Sebab, banyak orang yang nyatanya bisa menyesuaikan lidahnya untuk berbicara menggunakan bahasa baru yang notabene bukan merupakan bahasa ibunya.
"Jadi hal seperti itu cuma masalah mau atau nggak," kata Ivan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.