JAKARTA, KOMPAS.com - "Jamu, jamu...." Suara pelan Nanik (54) nyaris tak terdengar di tengah sahut-sahutan klakson kendaraan.
Meski tak berteriak, pelanggan setia yang melihat sosoknya langsung menghampiri. Nanik kemudian perlahan menurunkan gendongannya dan meletakannya di atas aspal.
Mengenakan kain batik berwarna hijau, Nanik duduk bersimpuh sambil menuangkan jamu ke gelas kaca untuk para pembeli di kawasan Polsek Palmerah, Jakarta Barat.
Penjual jamu gendong keliling barangkali sudah langka di Jakarta. Wanita asal Solo, Jawa Tengah tersebut mengaku telah menjadi penjual jamu gendong sejak tahun 1984. Saat itu, ia pergi merantau seorang diri dari kota kelahirannya menuju Jakarta.
Baca juga: Kisah Sumi, Puluhan Tahun Berkeliling Jadi Pedagang Sayur Gendong
Tanpa dibekali kemampuan yang cukup, Nanik pun memutuskan untuk berjualan jamu gendong keliling.
"Sudah sejak tahun 1984 pas pertama kali saya ke Jakarta. Jadi saya sudah jualan dari saya belum menikah sampai menikah. Alhamdulillah masih lancar jualannya, walaupun sudah enggak seramai dulu. Langganan saya ya polisi yang tugas di sini (Polsek Palmerah), anak-anak kampus Binus, pedagang-pedagang di Pasar Palmerah juga," kata Nanik kepada Kompas.com. Kamis (31/1/2019).
"Tapi, sekarang sudah tinggal jalan saja tanpa perlu cari pelanggan lagi. Kan sudah puluhan tahun, jadi mereka juga sudah hafal sama saya, kelilingnya jam berapa aja," sambungnya.
Mulanya, ia membeli bahan-bahan dasar jamu tradisional seperti kunyit, jahe, dan kencur dari pasar tradisional di Jakarta.
Namun, ia selanjutnya memutuskan untuk membawa bahan-bahan dasar pembuatan jamu dari kampung halamannya.
Hal ini karena harga bahan-bahan pokok di pasar tradisional Jakarta lebih mahal dibandingkan harga bahan-bahan pokok di Solo. Ia membeli bahan-bahan jamu tersebut setiap tiga bulan sekali.
"Saya biasanya pulang kampung saat libur hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan libur panjang. Enggak menentu sih, kadang sekali dalam tiga bulan, kadang juga sekali dalam sebulan. Tapi, semua bahan selalu cukup, enggak pernah kurang," ujar Nanik.
Baca juga: Jual Jamu Gendong di Bogor, Gadis Cantik Asal Wonogiri Bikin Heboh di Medsos
Nanik menjual beragam jenis jamu tradisional dengan beragam khasiat di antaranya beras kencur untuk obat batuk, temulawak untuk daya tahan tubuh, kunyit asam untuk melancarkan haid pada wanita saat datang bulan, dan kunyit sirih untuk mengatasi keputihan.
Jamu-jamu itu dijual dengan harga Rp 4.000-Rp 5.000 per gelas. Pembeli juga dapat membungkus jamu-jamu tersebut.
Ia memproduksi jamu sejak pukul 05.00-07.30 WIB dengan cara menumbuk bahan-bahan dasar jamu menggunakan lesung yang dibawa dari kota kelahirannya.
Selanjutnya, ia mulai berkeliling dengan menggendong botol-botol jamu dari kawasan Palmerah hingga Kemanggisan mulai pukul 10.00-17.00 WIB.
Baca juga: Kisah Nuriman: dari Tukang Servis Keliling, Kini Sukses Usaha Reparasi Limbah Payung
Nanik mengaku tak pernah merasa malu dan capek untuk berjualan jamu keliling di kawasan Palmerah dan Kemanggisan. Walaupun harus berjalan di bawah terik matahari, ia mengaku ikhlas menjalaninya.
Nanik menceritakan, sebagian besar penjual jamu gendong keliling mulai menggunakan sepeda ontel atau motor. Ia salah satu yang bertahan masih berjualan jamu gendong dengan berjalan kaki.
"Sudah biasa jalan kaki. Kalau disuruh naik ontel, malah bikin saya mudah capek. Mau cari kerja lain juga susah, saya menjalani apa yang saya bisa jalani aja. Walaupun banyak penjual jamu bubuk, tapi saya yakin masih banyak yang suka jamu tradisional," kata Nanik.
Baca juga: Jual Es Dawet Keliling, Iksan Mampu Biayai Kuliah hingga Nikahi Gadis Pujaan
Saat ini, Nanik tinggal bersama dua anaknya di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat. Ia mengaku prinsip hidupnya adalah ikhlas saat bekerja.
"Anak saya dua, cowok semua. Yang pertama SMK kelas XI dan anak terakhir SD kelas 4. Saya kerja demi anak-anak, enggak masalah keliling begini, yang penting anak saya senang, bisa sekolah. Saya ikhlas kalau kerja apa pun. Kuncinya setiap pekerjaan itu harus ikhlas," ujar Nanik.
Saat ditanya tentang keuntungan berjualan jamu, Nanik enggan menjawabnya. Menurutnya, keuntungan utama dalam berjualan jamu gendong adalah bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang.
"Bahannya kan saya beli sekaligus setiap tiga bulan, jadi enggak pernah menghitung modal dan keuntungannya berapa. Apalagi, kadang ada pelanggan yang berhutang pas beli jamu. Bayarnya bisa hari esoknya atau digabung selama seminggu," ungkap Nanik.
"Yang penting hasil kerjanya halal. Walaupun banyak yang ngutang, tapi mereka selalu bayar kok. Alhamdulillah hampir setiap hari, jamu saya juga habis. Ketemu dan bersilaturahim dengan banyak orang juga bikin senang dan semangat menjalani hidup," lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.