Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum bentukan Anies, Nila Ardhianie menjelaskan jaminan keuntungan yang harus dibayar ke pihak swasta selama ini memberatkan DKI. DKI masih membayar keuntungan kepada Palyja, namun sudah tak lagi kepada Aetra.
"Ada kekurangan deviden itu yang harus dibayarkan oleh PAM Jaya. Nanti kalau PAM Jaya tidak bisa, itu harus ditanggung oleh Pemprov yang nilainya tidak sedikit, sampai triliun-triliunan. Kira-kira kurang lebihnya Rp 8,5 triliun," ujar Nila.
Direktur Amrta Institute itu merinci, dari Rp 8,5 triliun sebesar Rp 6,7 triliun untuk Palyja dan Rp 1,8 triliun untuk Aetra.
Di sisi lain, DKI tak bisa menambah layanan bagi warganya sebab Palyja dan Aetra punya hak eksklusivitas.
"Jadi memang keseluruhan layanan ada di tangan swasta. Lalu kemudian juga ada pasal yang mengatur mengenai self financing. Ini juga yang membuat pemerintah provinsi, (jika) mau menyalurkan dananya untuk membantu rakyatnya sendiri itu juga jadi sulit. Harus ada kesepakatannya dulu. Harus ada MoU begitu yang tidak mudah dilakukannya," ujar Nila.
Untuk itu, DKI akan mengambil alih pengelolaan air lewat langkah perdata.
Pertama, renegosiasi bisa seputar pembelian saham Palyja dan Aetra.
"Kami bisa beli sahamnya Palyja maupun Aetra. Ini tentu perlu proses pembicaraan yang juga tidak mudah," kata Nila dalam kesempatan yang sama.
Baca juga: Ini 3 Langkah agar Pemprov DKI Bisa Mengelola Air Bersih di Jakarta
Opsi itu, menurut Nila, perlu ada kajian dan hitung-hitungan terlebih dahulu. Prosesnya juga harus dilakukan transparan.
Opsi kedua bisa dengan membuat perjanjian kerja sama (PKS) yang mengatur penghentian kontrak yang disepakati kedua belah pihak.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan