JAKARTA, KOMPAS.com - Air dengan ketinggian sekitar 2 meter menggenang di Kampung Teko atau yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Apung.
Mauli salah satu warga mengaku sudah lebih kurang 20 tahun tinggal di Kampung Apung.
"Saya dari bujang tinggal disini, ada kali 20 tahun. Dulu memang namanya Kampung Teko ya di sini. Tapi karena terendam ya makanya jadi Kampung Apung, jadi biasa dipanggil itu," ujar Mauli saat ditemui Kompas.com, di Kampung Apung, Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis (17/10/2019).
Mauli mencoba menggambarkan kembali suasana Kampung Apung saat dirinya masih muda, tepatnya dua puluh tahun silam.
"Dahulu di depan Kampung Apung, kalau abang lewat jembatan itu sisi kanan tanah kuburan, sisi kirinya rumah-rumah. Tapi karena ini memang dataran rendah ya sudah air dari mana-mana masuk dan ada di sini," tambah Mauli.
Baca juga: Curhat Warga Kampung Apung yang Puluhan Tahun Tinggal di Atas Genangan Air...
Saat ini, lahan kuburan sudah tidak terlihat, tertutup oleh air yang menggenangi kawasan itu.
Kampung Apung sendiri memiliki luas kurang lebih 3 hektar dan dihuni sekitar 200 Kepala Keluarga (KK).
Seiring berjalannya waktu tidak hanya tanah kuburan yang hilang tertutup air namun jalan dan beberapa rumah warga di kampung.
Bahkan untuk masuk ke Kampung Apung, warga harus melewati jembatan yang lebarnya kurang lebih 1,5 meter atau pas dilewati dua motor saja.
Otomatis, kendaraan mobil tidak bisa masuk ke dalam kampung dan hanya bisa sampai depan gang atau pinggir Jalan Kapuk Raya.
Saat Kompas.com menelusuri hingga ke dalam gang permukiman warga, air yang ada di sekitar rumah tidak bergerak.
Satu-satunya cara agar air bisa dikuras adalah dengan disedot.
"Ya satu-satunya cara disedot, tapi ya air datang lagi datang lagi karena emang di sini dataran rendah," ucap Mauli yang bekerja sebagai buruh.
Lama kelamaan volume air semakin tinggi hingga mencapai bagian atas rumah, salah satu cara agar warga tetap tinggal adalah dengan meninggikan bangunan rumah.
Warga yang memiliki uang akan memilih kaki beton sebagai tumpuan untuk meninggikan rumah.
Sementara warga yang belum mempunyai cukup uang, bisa menggunakan bambu, kayu untuk bahan peninggi rumah.
Baca juga: Melihat Semangat Anak-anak Muda di Kampung Apung...
"Kaki beton dibilang sebentar ya lumayan lama ini aja lah 20 tahunan, supaya enggak ganti mulu. Tapi ada juga yang pakai bambu dan kayu beda tapi biayanya," tanbah Mauli.
Mauli memberi contoh salah satu rumah yang sudah tenggelam hingga atap lantai 1.
"Coba lihat itu, sudah mau deket tembok kan ada batasannya lantai 1 dan dua," tambah Mauli sembari menunjukkan contoh rumah.
Rumah di Kampung Apung rata-rata berdempetan satu dengan yang lain.
Namun, ada juga beberapa rumah yang diberi jarak oleh kolam air yang dahulunya adalah lahan kosong.
Tercium aroma tidak sedap dari air yang menggenang di sela-sela rumah warga.
Kendati begitu, Mauli yang juga merasakan aroma tidak sedap bertahun-tahun belum mengeluhkan adanya wabah penyakit di lingkungannya.
Baca juga: Mengenal Kampung Apung yang Dulunya Seindah Kawasan Pondok Indah
"Kalau penyakit di sini alhamdulilah tidak ada sih baik mual-mual jarang, aman-aman aja," tambah Mauli.
Justru hal yang sering terjadi adalah tercemplungnya anak-anak atau ibu-ibu rumah tangga saat menjalankan aktivitas di sekitar genangan air.
"Kalau nyemplung hal yang lumrah di sini tapi ya udah jarang juga," ucap Mauli.
Walau dengan kondisi begitu, Kampung Apung juga terdapat fasilitas tempat ibadah yakni musholla yang terletak di tengah-tengah permukiman.
Selain Musholla, dahulu juga terdapat kolam lele milik warga, sayangnya saat ini penangkalan tidak lagi terawat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.