Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Manggarai dan Tawuran Pemuda yang Jadi "Tradisi"...

Kompas.com - 02/12/2019, 19:25 WIB
Vitorio Mantalean,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kawasan Manggarai dan sekitarnya merupakan contoh nyata ironi ibu kota.

Di balik laju pembangunan yang masif di Jakarta, tak sedikit yang tersisih dan akhirnya terlindas jadi remah-remah.

Manggarai ada di pusat Jakarta, tetapi sama sekali bukan jantung peradaban modernnya. Ia malah menjelma lokasi pusaran masalah sosial yang membelit kaum miskin kota.

“Di sana ada berbagai macam kegiatan orang bertahan hidup. Dari yang legal maupun ilegal, bercampur-baur di sana. Ada permukiman isinya orang mabuk, peredaran narkoba, itu semua segala macam underground activity,” kata sosiolog UI, Imam Prasodjo kepada Kompas.com, Senin (2/12/2019).

Imam mengatakan, masalah-masalah sosial kaum miskin kota di Manggarai semakin pelik seiring kian “rakusnya” Jakarta.

Mereka yang tercecer dari laju peradaban modern akhirnya harus berdamai dengan kemiskinan struktural.

Fenomena tawuran yang seringkali pecah di Manggarai menyodorkan kita cara membaca kemiskinan struktural yang kerap luput dari pandangan.

Mengenal kemiskinan struktural yang menjebak para pemuda Manggarai dapat membawa pemahaman baru, bahwa tindakan tawuran bukan datang dari ruang hampa atau lahir dari kehendak bebas para pemuda.

Baca juga: Kisah di Balik Tawuran Manggarai, Medsos Dipakai untuk Janjian...

Pelaku tawuran sebagai korban

Menggunakan sudut pandang yang luas, mudah bagi seseorang mendakwa para pemuda yang terlibat tawuran di Manggarai sebagai biang onar.

Tudingan itu tentu berdasar, tawuran di Manggarai memakan korban, merusak fasilitas umum, dan mengusik serta meresahkan aktivitas warga lain.

Sudut pandang ini pula yang selama ini menguasai perbincangan tatkala kerusuhan pecah di Manggarai.

Jelas tertulis dalam Ikrar Muspida (musyawarah pimpinan daerah) Jakarta Selatan dan Pusat pada 29 Oktober 2019 lalu, misalnya, tawuran ditimbulkan oleh kelakuan provokator.

Bahkan, dalam Ikrar yang diimpikan mampu memutus rantai kekerasan itu tertulis, Muspida mendukung pencabutan fasilitas dari pemerintah seperti KJP dan BPJS terhadap para pelaku tawuran.

Sebulan usai ikrar ini dibacakan, tawuran kembali pecah di Manggarai, Minggu (1/12/2019).

Ini menandakan, ikrar sebulan lalu memang tak punya arah menyelesaikan apa-apa di balik fenomena tawuran Manggarai.

Lebih dari itu, ikrar itu mencerminkan “rabun jauh” para pemangku kepentingan membaca persoalan secara detail.

“Memutus spiral kekerasan di Manggarai butuh langkah terpadu pemangku kepentingan dari segi hukum, kepemimpinan, dan komunikasi interpersonal terhadap adik-adik kita. Pendekatannya harus partisipatif, bukan sekadar mobilisasi,” ujar Andi Muhammad Jufri, Direktur Eksekutif CERIC (Pusat Kajian Antargolongan dan Resolusi Konflik) Universitas Indonesia ketika dihubungi Kompas.com, Senin (2/12/2019) sore,

Jufri menambahkan, Ikrar Muspida yang dibacakan di pengujung Oktober 2019 lalu tak lebih dari basa-basi dalam upaya meruntas rantai kekerasan di Manggarai.

Tidak ada pimpinan lokal yang mendekati para pemuda yang terlibat tawuran. Perwakilan warga yang diminta membacakan ikrar pun, kata Jufri, tak punya pertalian erat dengan para pemuda tadi.

Baca juga: Polisi Buru 4 Orang Warga yang Terlibat dalam Tawuran Manggarai

Singkatnya, mereka tidak representatif, apalagi mewakili pikiran para pemuda tadi soal tawuran.

Tawuran di Manggarai, Rabu (4/9/2019).Antara Tawuran di Manggarai, Rabu (4/9/2019).

Jufri sudah lima tahun lebih berkutat dengan kehidupan sosial kaum miskin kota di Manggarai sebagai peneliti.

Ia telah memotret dari jarak dekat, bagaimana kemiskinan struktural mengurung para pemuda Manggarai.

Kemiskinan struktural bukan sekadar timbul akibat ketidakmauan seseorang mencari nafkah.

Kemiskinan struktural adalah tentang sistem, baik itu negara maupun kota, yang tak menyediakan kesempatan bagi para kaum miskin kota untuk melarikan diri dari jebak kemiskinan.

Menggunakan sudut pandang yang lebih dekat, Jufri paham bahwa para pemuda yang terlibat tawuran Manggarai bukan semata-mata pelaku.

Mereka sekaligus korban dari struktur sosial yang sama sekali tak berpihak pada mereka untuk bertindak tertib maupun memperbaiki nasib mereka.

“Kemiskinan finansial memang sudah pasti membuat kehidupan lebih keras, karena kebutuhan dasar seperti makan saja sudah kurang. Tapi, yang lebih parah lagi, mereka miskin akses. Betapa banyak pun program pemerintah, akhirnya tidak bisa mencapai mereka,” jelas Jufri.

Para pemuda Manggarai tak banyak punya ruang publik yang dekat dengan tempat tinggal mereka.

Mereka sulit mendapatkan akses untuk mengaktualisasi diri sebagai remaja, seperti mengembangkan bakat olahraga, menyalurkan minat bermusik, maupun mengekspresikan keingintahuan pada teknologi, misalnya.

Keadaan di rumah pun sama tak menguntungkannya.

Tinggal di permukiman kumuh nan sesak di Manggarai, siapa pun tentu tak betah berlama-lama.

Itu belum ditambah dengan renggangnya hubungan para pemuda dengan orangtua mereka yang juga dibekap kemiskinan.

Pasalnya, orangtua mereka boleh jadi kerja serabutan seharian demi menyambung hidup dari hari ke hari.

Baca juga: Tawuran Kerap Terjadi di Manggarai, Solusi Nihil karena Penyebab Tak Diteliti Serius

Belum tentu juga nafkah mereka terpenuhi hari itu. Bibit kekerasan akhirnya muncul bermula dari rumah, lingkungan terkecil mereka.

“Para orangtua ini tidak semua pendidikannya memadai, tidak semuanya punya kultur dialog dalam keluarga. Selain itu banyak juga, karena seharian sibuk kerja tapi pendapatan yang hanya segitu-segitu juga, akhirnya timbul kekerasan dan kata-kata yang keras. Emosi, karena terdesak tak bisa memenuhi permintaan anaknya,” Jufri menjelaskan.

Rumah akhirnya menjelma tempat asing. Secara fisik maupun batin, rumah atau keluarga bukanlah tempat yang nyaman.

Tempat bernaung pun beralih ke ruang lain, sekolah.

Di sekolah, para pemuda secara tak langsung berjejaring dengan geng yang jumlahnya puluhan di Manggarai dan sekitarnya.

Geng, beserta tempat nongkrongnya, akhirnya menjelma menjadi satu-satunya naungan yang sanggup menyodorkan ruang yang nyaman bagi para pemuda mengaktualisasikan diri.

“Dalam situasi seperti itu, anak muda yang sebetulnya masih bisa dibentuk, malah terjepit dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan mereka,” kata Imam Prasodjo.

“Wadah bermain, wadah beraktivitas, wadah olahraga dan belajar yang seharusnya tersedia di lingkungan dan memungkinkan mereka untuk beraktivitas dengan baik, itu semua kosong,” imbuhnya.

Menjelma krisis identitas

Suasana pasca-tawuran di Manggarai, Jakarta Selatan, Senin (6/3/2017). Polisi masih tampak berjaga di lokasi.KOMPAS.com/NURSITA SARI Suasana pasca-tawuran di Manggarai, Jakarta Selatan, Senin (6/3/2017). Polisi masih tampak berjaga di lokasi.

Dari krisis finansial yang melekat begitu kuat membentuk kemiskinan struktural, para pemuda di Manggarai sadar tidak sadar menghadapi krisis stadium lanjut: krisis identitas.

Dalam fase menuju dewasa, mereka pun tak luput dari insting mencari jati diri dan menemukan pengakuan.

Kata kuncinya ialah “geng”.

Geng tersebut seolah menjadi jembatan yang menyambungkan antara kemiskinan, krisis identitas a la remaja, dengan bibit kekerasan yang meledak menjadi fenomena tawuran di Manggarai.

Geng menjadi bukti bahwa para pemuda butuh wadah aktualisasi diri, tanpa pernah terfasilitasi seperti para komunitas futsal, komunitas seni, dan komunitas-komunitas lain.

Interaksi mereka, diawali dari sekolah, kemudian tongkrongan, akhirnya memberi mereka ciri.

Interaksi itu mengkristal menjadi identitas, bahwa seorang pemuda merasa dirinya bagian dari sebuah kelompok, dan bukan anggota kelompok lainnya.

Kelompok itulah “geng” yang akhirnya menguasai suatu teritori-tongkrongan-sendiri.

“Geng ini kemudian diberi nama yang cukup unik. Misalnya ada ada di Manggarai itu geng ‘Tuyul’ atau ‘tukang nyulik’ dekat Stasiun Manggarai. Kemudian di Pegangsaan ada namanya ‘Romusha, Rombongan Muka Sangar’. Di Menteng ada ‘Glorados, Gelondongan Raja Dosa’,” kata Jufri.

Data penelitian Jufri dan kolega pada 2014 mencatat, setidaknya terdapat 67 geng kecil di Pasar Manggis, 11 geng di Manggarai, 21 geng di Menteng, dan 5 geng di Pegangsaan.

Geng-geng ini saling mengidentifikasi kawan dan musuh mereka. Mereka umumnya berkonsolidasi dalam teritori yang berdekatan dan siap membangun kekuatan apabila “bertempur”.

Seiring berjalannya waktu, bentrok yang terus terjadi di Manggarai antara kawan dan musuh ini mengendapkan rivalitas mereka menjadi musuh bebuyutan. 

Peristiwa bentrok dan jatuhnya korban terus diceritakan, diulang-ulang, hingga membentuk sebuah memori kolektif yang mengendap di benak para anggotanya.

Melalui memori kolektif ini, dendam terus dirawat, konflik dibiarkan tumbuh subur.

Kabar buruknya, spiral kekerasan ini terus memanjang setiap tahun.

Jemari geng-geng ini sudah menggerayangi ruang-ruang kelas sekolah dalam rangka merekrut kader-kader baru.

Prosesnya persis dengan penjabaran awal: sekolah dan tongkrongan jadi tempat bernaung para pemuda karena rumah bukan tempat yang nyaman dan mereka tak punya ruang lain mengaktualisasi diri.

“Sekolah tidak melihat kemunculan geng-geng ini, misalnya geng antarkelas. Mereka muncul di luar sekolah ketika tidak jam sekolah. Dari sekolah, mereka berpindah ke lingkungan masyarakat. Di sinilah mereka bercampur, geng-geng ini membesar,” ujar Jufri.

Geng-geng ini ujungnya menjadi hilir dari aliran kemiskinan struktural di hulu persoalan yang menenggelamkan para pemuda dalam nasib yang getir.

Geng, beserta perseteruannya yang dirawat menahun, jadi faktor penting dalam melanggengkan spiral kekerasan di Manggarai dalam rupa tawuran.

“Kita bisa memulainya dari tawuran antarsekolah. Tawuran ini juga muncul karena mereka merasa didukung oleh pentolan-pentolan gengnya, sehingga merasa kuat. Soalnya, di geng mereka pasti ada juga senior-senior atau alumni sekolah mereka. Ada senior yang sudah drop-out, ada juga yang sudah lulus tetapi nganggur dan akhirnya terus nongkrong di (geng) situ,” kata Jufri.

Keadaan serba rumit ini adalah alasan, langkah-langkah rabun jauh pemerintah dalam membuat solusi justru makin mengaburkan akar masalah tawuran Manggarai dari inti masalah.

Wacana pencabutan fasilitas Pemprov DKI Jakarta terhadap para "pelaku tawuran", misalnya, malah kian menjerumuskan mereka dalam lubang kemiskinan struktural yang lebih gelap.

Alih-alih memutus mata rantai tawuran, wacana itu malah memperbesar peluang mereka merawat lingkaran kekerasan dan menyuburkan konflik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pasien DBD di RSUD Tamansari Terus Meningkat sejak Awal 2024, April Capai 57 Orang

Pasien DBD di RSUD Tamansari Terus Meningkat sejak Awal 2024, April Capai 57 Orang

Megapolitan
Video Viral Keributan di Stasiun Manggarai, Diduga Suporter Sepak Bola

Video Viral Keributan di Stasiun Manggarai, Diduga Suporter Sepak Bola

Megapolitan
Terbakarnya Mobil di Tol Japek Imbas Pecah Ban lalu Ditabrak Pikap

Terbakarnya Mobil di Tol Japek Imbas Pecah Ban lalu Ditabrak Pikap

Megapolitan
Berebut Lahan Parkir, Pria di Pondok Aren Gigit Jari Rekannya hingga Putus

Berebut Lahan Parkir, Pria di Pondok Aren Gigit Jari Rekannya hingga Putus

Megapolitan
DLH DKI Angkut 83 Meter Kubik Sampah dari Pesisir Marunda Kepu

DLH DKI Angkut 83 Meter Kubik Sampah dari Pesisir Marunda Kepu

Megapolitan
Janggal, Brigadir RAT Bunuh Diri Saat Jadi Pengawal Bos Tambang, tapi Atasannya Tak Tahu

Janggal, Brigadir RAT Bunuh Diri Saat Jadi Pengawal Bos Tambang, tapi Atasannya Tak Tahu

Megapolitan
8 Pasien DBD Masih Dirawat di RSUD Tamansari, Mayoritas Anak-anak

8 Pasien DBD Masih Dirawat di RSUD Tamansari, Mayoritas Anak-anak

Megapolitan
Pengelola Imbau Warga Tak Mudah Tergiur Tawaran Jual Beli Rusunawa Muara Baru

Pengelola Imbau Warga Tak Mudah Tergiur Tawaran Jual Beli Rusunawa Muara Baru

Megapolitan
UPRS IV: Banyak Oknum yang Mengatasnamakan Pengelola dalam Praktik Jual Beli Rusunawa Muara Baru

UPRS IV: Banyak Oknum yang Mengatasnamakan Pengelola dalam Praktik Jual Beli Rusunawa Muara Baru

Megapolitan
9 Jam Berdarah: RM Dibunuh, Mayatnya Dimasukkan ke Koper lalu Dibuang ke Pinggir Jalan di Cikarang

9 Jam Berdarah: RM Dibunuh, Mayatnya Dimasukkan ke Koper lalu Dibuang ke Pinggir Jalan di Cikarang

Megapolitan
Seorang Remaja Tenggelam di Kali Ciliwung, Diduga Terseret Derasnya Arus

Seorang Remaja Tenggelam di Kali Ciliwung, Diduga Terseret Derasnya Arus

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Kamis 2 Mei 2024, dan Besok: Malam Ini Hujan Petir

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Kamis 2 Mei 2024, dan Besok: Malam Ini Hujan Petir

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Mobil Terbakar di Tol Japek Arah Cawang | Pembunuh Wanita Dalam Koper di Bekasi Ditangkap

[POPULER JABODETABEK] Mobil Terbakar di Tol Japek Arah Cawang | Pembunuh Wanita Dalam Koper di Bekasi Ditangkap

Megapolitan
Perjuangkan Peningkatan Upah Buruh, Lia dan Teman-temannya Rela ke Jakarta dari Cimahi

Perjuangkan Peningkatan Upah Buruh, Lia dan Teman-temannya Rela ke Jakarta dari Cimahi

Megapolitan
Cerita Suratno, Buruh yang Khawatir Uang Pensiunnya Berkurang karena UU Cipta Kerja

Cerita Suratno, Buruh yang Khawatir Uang Pensiunnya Berkurang karena UU Cipta Kerja

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com