JAKARTA, KOMPAS.com – Sebuah video viral di media sosial. Rekamannya menampilkan seorang pemuda dengan dialek betawi "berjibaku" mengajak warganet agar patuh pada imbauan social distancing guna mencegah kerumunan yang dapat mempermudah penularan Covid-19.
Video yang sarat istilah percakapan sehari-hari gaya Betawi yang dibumbui humor tersebut dibagikan oleh akun Twitter @bintangemon dan sudah mulai menyebar melalui kanal media sosial lain.
#DPOCorona
— haduhaduh (@bintangemon) March 22, 2020
Izin menyampaikan pesan bersama melalui DPO ???????? pic.twitter.com/CqzlUREplb
“Untuk teman-temanku yang masih suka bilang, ‘Elah tong santai aja, nyawa kita di tangan Tuhan’… Wey, Paman Boboho, kalau emang itu prinsip ente, noh lu jongkok tengah jalan tol sambil bilang nyawa kita di tangan Tuhan,” kata dia melalui video yang diunggiah Minggu (22/3/2020).
“Cuma kan harus usaha kitanya. Ada ikhtiar sebelum tawakkal. Makanya pas pelajaran agama lu jangan kiu kiu, kaga masuk di kepala lu.”
“Gua juga enggak apa-apa kalau lu meninggal. Asal lu kalau meninggal, jasad lu nguap. Lu kalau meninggal karena ngeremehin corona, yang lain bisa kena. Yang mandiin elu, yang nguburin elu. Orang katering di tahlilan lu? Kenaaa. Ya Allah, jahat banget lu, dia enggak ngerti apa-apa Cuma ngebungkusin lemper doang, kena!”
“Kita kalau diarahkan social distancing ya nurut, tolong. Dokter nyembuhin. Pemerintah ngatur. Kita pasien, nurut sama arahan. Lu, pasien (tapi) bandel, dokter (kemudian) ngambek, kita sembuhnya gimana, Bos?”
Baca juga: Pemerintah Ubah Istilah Social Distancing Jadi Fisikal Distancing
“Udah, di rumah dulu. Liburan nanti-nanti mah bisa. Lu kagak ke mal sekarang enggak apa-apa, itu mal enggak berubah jadi kantin. Lu enggak ke Puncak sekarang juga Puncak enggak bakal jadi pendek.”
“Ayo mari kita sama-sama lawan corona. Ini corona didiemin lama-lama ngelunjak nih. Ini corona kalau bentukannya orang udah gua klepak nih dari dulu.”
Sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo menyatakan, semestinya pemerintah menggunakan model komunikasi publik seperti contoh barusan agar imbauan social distancing diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Fakta bahwa hari ini, tak semua orang memilih bertahan di rumah, selain karena desakan ekonomi, juga disumbang akibat model komunikasi publik para pejabat yang tak efektif karena terlalu elitis.
Ia berpendapat, pesan soal social distancing sebaiknya disampaikan oleh orang yang berbeda-beda dengan menyasar kelompok yang berbeda-beda latar belakangnya. Ini akan meningkatkan efektivitas pesan.
Baca juga: Milenial Kesepian Saat Social Distancing? Ini Tips dari Stafsus Jokowi
“Masyarakat seringkali menjadi sasaran kesalahan. Padahal, kalau mau adil, evaluasi juga perlu dilakukan pada yang bicara atau yang berpidato. Apakah semua orang harus paham pada istilah social distancing dengan sendirinya? Bahasa apa sih istilah ini?” ujar Imam kepada Kompas.com, Senin (23/3/2020).
“Coba kita dengar dalam video itu, bagaimana anak muda (entah siapa dia) secara tak langsung memberi contoh pada kita semua bagaimana berkomunikasi efektif di kalangan mereka. Kita perlu juru bicara seperti ini dari beragam segmen kelompok berlatar-belakang berbeda,” ia menambahkan.
Imam berujar, tak semua orang bakal paham dengan anjuran social distancing tanpa disertai dengan gaya bertutur yang sesuai dengan alam berpikir mereka.
Masyarakat terbagi dalam usia yang berbeda, asal daerah dan tradisi yang berlainan, jalur dan tingkat pendidikan yang tak sama, serta lingukungan pergaulannya masing-masing.