JAKARTA, KOMPAS.com - Pada 1 Oktober 1965 dini hari, Letnan Jenderal Ahmad Yani ditembak oleh pasukan Tjakrabirawa di kediamannya di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Saat itu, Ahmad Yani menolak dijemput oleh pasukan Tjakrabirawa.
“Tiba-tiba lihat ayah saya diseret. Tiba-tiba dengar suara tembakan yang menggelegar,” kata anak Ahmad Yani, Amelia Achmad Yani saat berbincang dengan Kompas.com, tahun 2017 lalu.
Ada tujuh peluru yang dilepaskan pasukan Tjakrabirawa pada 1 Oktober 1965 pukul 04.35 WIB itu. Lima di antaranya meninggalkan lubang tembakan di sebuah pintu.
Dikutip dari Harian Kompas, 14 Agustus 2017, pemandu Museum Jenderal Ahmad Yani, Sersan Mayor Wawan Sutrisno, mengungkapkan pasukan yang datang menyergap masuk melalui pintu belakang dan membunuh Ahmad Yani pada saat itu juga.
Baca juga: Jenderal Ahmad Yani, Kesayangan Sukarno
Semetara, yang lain ada yang bertugas menyekap pasukan penjaga rumah Ahmad Yani. Ada juga yang bertugas mengepung rumah itu.
Kemudian, jasad Ahmad Yani dibawa menggunakan truk ke sebuah areal perkebunan di Halim, Jakarta Timur.
Di sana, Ahmad Yani akhirnya dimasukan ke dalam sumur tua bersama enam jenderal dan dua perwira lainnya.
Ahmad Yani adalah satu di antara 6 jenderal yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S).
Baca juga: Museum Ahmad Yani, Saksi Bisu Perjalanan Sang Jenderal Korban G30S/PKI
Lahir pada 19 Juni 1922 di Purworejo, Jawa Tengah, Ahmad Yani tutup usia di umur 43 tahun.
Dalam buku G30S, Fakta atau Rekayasa? (2013) karya Julius Pour, Komandan Batalyon I Resimen Tjakrabirawa Letkol (Inf) Untung Samsoeri memimpin upaya kudeta.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.