JAKARTA, KOMPAS.com - Pembubaran Front Pembela Islam (FPI) terus menuai kritik dari sejumlah pihak. Keputusan pembubaran FPI tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Bersama enam pejabat tinggi di kementerian dan lembaga, yang diterbitkan pada 30 Desember 2020.
Keenam pejabat tinggi itu adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, serta Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate.
Kemudian, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafly Amar.
Baca juga: Maklumat Kapolri soal FPI Dinilai Berlebihan
Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI dan Maklumat Kapolri tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI, ada tiga alasan pembubaran FPI, yakni:
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia mengkritik pembubaran FPI tersebut. Dalam pernyataan sikap soal pembubaran FPI yang terbit pada Minggu (3/1/2021), BEM UI mendesak pencabutan SKB enam menteri.
Mereka menyoroti keputusan pembubaran FPI tanpa adanya proses peradilan. Berikut beberapa poin dari pernyataan sikap BEM UI:
Baca juga: Pernyataan Sikap BEM UI Soal Pembubaran FPI Bukan Pembelaan untuk FPI
"Aturan ini jauh lebih problematis karena dalam poin 2d normanya berisi tentang larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial. Padahal, mengakses konten internet adalah bagian dari hak atas informasi yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28F UUD 1945 serta Pasal 14 UU HAM," bunyi pernyataan itu.
"Aturan Maklumat Kapolri a quo tentu saja akan dijadikan aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan represif dan pembungkaman, khususnya dalam ranah elektronik," lanjut pernyataan BEM UI tersebut.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai pembubaran FPI bermasalah jika dilihat dari segi Undang-Undang Dasar 1945.
Sebab, Pasal 28 UUD 1945 menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul bagi setiap masyarakat Indonesia.
Namun, jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 yang mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat, maka mekanisme pembubaran Front Pembela Islam ( FPI) sudah sesuai.
"Kalau basisnya Undang-Undang Dasar belum tentu langkah-langkah pemerintah membatasi FPI dalam artian undang-undang mencabut status badan hukumnya atau surat keterangan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM," kata Feri kepada Kompas.com, Kamis (31/12/2020).
Baca juga: Ahli: Jika Lihat UUD 1945, Pembubaran FPI Bisa Dinilai Bermasalah
"Itu memang bisa jadi masalah kalau dilihat dari segi konstitusional, dari segi Undang-Undang Dasar," ujar dia.
Menurut Feri, sebelum dikeluarkannya Perppu Ormas, pembubaran ormas harus melalui peradilan. Aturan tersebut kini sudah tidak berlaku bersamaan dengan terbitnya Perppu Ormas.