JAKARTA, KOMPAS.com - Penyebaran Covid-19 makin tinggi dan menembus angka kumulatif 1 juta kasus secara nasional hari ini. Di sisi lain, kapasitas rumah sakit rujukan Covid-19 makin menipis. Korban meninggal dunia berjatuhan.
Di Ibu Kota misalnya, data per 24 Januari menunjukkan ketersediaan tempat tidur isolasi untuk pasien Covid-19 hanya tersisa 14 persen.
Dari 8.055 tempat tidur yang disediakan, yang sudah terisi pasien Covid-19 sebanyak 6.954 unit, atau 86 persen dari seluruh kapasitas tempat tidur isolasi di 101 rumah sakit rujukan.
Baca juga: Cerita Pilu Perawat Saksikan Suami Istri yang Terpisah Maut karena Covid-19
Angka kritis juga terjadi pada ketersediaan tempat tidur di ruang intensive care unit (ICU). Pada tanggal yang sama, tempat tidur ICU di Jakarta terisi 84 persen dari total kapasitas yang ada.
Ada 921 pasien Covid-19 yang dirawat di ICU dari total ketersediaan 1.097 tempat tidur.
Meski masih ada kapasitas tersisa, sejumlah masyarakat mengeluhkan sulitnya mendapat pelayanan RS dan ruang ICU. Korban yang berjatuhan akibat Covid-19 pun makin tinggi.
Sebanyak 2.121 jenazah dimakamkan dengan protap Covid-19 pada periode 1-23 Januari 2021. Jumlah tersebut merupakan angka tertinggi selama pandemi Covid-19 di Ibu Kota.
Namun, di tengah kondisi krisis ini, mengapa masyarakat justru tetap abai menerapkan protokol kesehatan?
Psikolog dari Universitas Indonesia Dicky Pelupessy menilai, masyarakat saat ini cenderung abai karena pandemi yang sudah berlangsung terlalu lama.
Kasus pertama Covid-19 diumumkan pada 2 Maret 2020. Artinya, pandemi sudah berlangsung hampir 10 bulan lamanya.
"Pandemi ini hampir ulang tahun. Secara psikologis orang itu sudah mulai bosan, lelah aktivitasnya terus dibatasi selama itu," kata Dicky kepada Kompas.com, Selasa (26/1/2021).
Akibatnya, masyarakat mulai melakukan aktivitas normal, mulai dari bekerja, berkumpul bersama kerabat dan keluarga, hingga pergi berlibur. Bahkan, tak jarang aktivitas itu dilakukan tanpa protokol kesehatan ketat seperti memakai masker dan menjaga jarak.
Alhasil, penularan Covid-19 pun semakin meningkat.
"Masyarakat sudah tidak tahan dalam situasi terbatasi. Manusia ini kan makhluk sosial. Dia harus keluar rumah untuk bekerja, bersosialisasi. Secara nature manusia makhluk sosial," ujarnya.
Dicky juga melihat, keabaian masyarakat terhadap protokol kesehatan disebabkan oleh komunikasi publik dari pemerintah yang sulit dipahami.
Ia mencontohkan terkait perubahan istilah dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Ia menilai perbedaan istilah-istilah tersebut hanya membuat masyarakat semakin bingung.
"Komunikasinya membingungkan. Itu membuat masyarakat tidak peduli. Akhirnya mendorong masyarakat jadi abai," kata Dicky.
Baca juga: Rumah Sakit di Jakarta Penuh, Wisma Atlet Kesulitan Rujuk Pasien Covid-19 Gejala Berat
Selain itu, ia juga menilai penegakan protokol kesehatan yang dilakukan pemerintah cenderung tidak tegas dan konsisten. Ia menyinggung soal penegakan hukum yang keras pada satu kelompok, tetapi cenderung lemah pada kelompok lainnya.
Bahkan, kerap kali dari kalangan pemerintah sendiri yang melanggar protokol kesehatan itu dan diabaikan oleh penegak hukum.
"Akhirnya orang bisa ngeliat dan membandingkan. Saya enggak boleh begini begitu, kok yang itu boleh. Misalnya contoh pakai masker, pejabat atau tokoh publik yang terlihat tidak mematuhi, itu kan orang bisa membandingkan," ujarnya.
Sementara itu, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengakui peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia belakangan disebabkan faktor kelalaian perilaku masyarakat menerapkan protokol kesehatan 3M, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan secara rutin.
"Dan perilaku ini akan berdampak besar bagi perburukan atau perbaikan dari pandemi satu wilayah satu negara," kata Dicky.
Namun, Dicky menilai masyarakat juga cenderung abai protokol kesehatan karena kebijakan pemerintah sendiri. Pemerintah tidak melakukan pembatasan aktivitas masyarakat secara total demi menyelamatkan perekonomian.
Baca juga: Jakarta Makamkan Sekitar 190 Jenazah Per Hari, Lebih dari Separuh Korban Covid-19
Akibatnya, masyarakat juga sulit untuk menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Oleh karena itu, pemerintah juga harus melakukan upaya lain dengan memasifkan upaya testing, tracing, dan treatment (3T).
Dengan upaya itu, pemerintah bisa menemukan kasus Covid-19 sebanyak-banyaknya dan melakukan isolasi guna mencegah penularan yang lebih luas.
"Memutus transmisi ini hanya bisa kita lakukan dengan cara penguatan testing dan tracing, termasuk membatasi pergerakan manusia dan juga interaksi manusia," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.