“Dulu pernah mau gadaikan surat tanah tapi enggal boleh,” tambah Waluyo.
Ia kini makin teringat orangtuanya yang sudah tua. Ayah Waluyo berumur 70 tahun, sedangkan ibunya berumur 65 tahun.
“Saya di kampung ya pingin ngurusin orangtua. Kalau ada modal mending pulang kampung, enak di kampung,” kata Waluyo.
Semenjak anak pertamanya lahir, Waluyo sudah sulit untuk mengirimkan uang. Mau tak mau, Waluyo harus mengutamakan tanggungjawab menafkahi anak-anaknya.
Baca juga: Kisah Pak Kentir, Setiap Hari Berenang di Sungai Ciliwung Cari Sampah dan Rongsokan
Ada juga pihak yang menawarkan bantuan seperti gerobak dan alat-alat usaha berjualan nasi goreng.
“Tadi dari Kecamatan Tebet tawarin kasih gerobak nasi goreng dan alat usaha nasi goreng,” tambah Waluyo.
Untuk berjualan nasi goreng, ia pun lebih memilih berjualan di tempat. Waluyo sudah tak sanggup untuk berkeliling.
“Kalau jualan keliling, kaki saya sudah enggak sanggup. Kalau jalan jauh kaki saya sakit, kaya sakit. Dulu saya pernah jatuh dari tangga dari tinggi empat meter,” kata Waluyo.
Kini, ia masih menunggu kabar terkait pihak yang sempat menawarkan tawaran modal usaha di kampung.
“Kalau itu benar, saya pasti akan pulang kampung,” ujar Waluyo.
Waluyo sudah hidup di pinggir rel kereta Manggarai-Jatinegara sekitar delapan tahun. Namun, tempat tinggal awalnya yang berbentuk saung beratap terpal terkena gusuran karena pembangunan Double-Double Track (DDT).
Saat ini, ia tinggal bedeng reot dan tak dialiri listrik. Lokasinya hanya berjarak sekitar 100 meter.
Tempat tinggalnya saat ini pemberian izin dari pemilik lapak kusen.
Waluyo bekerja sebagai pekerja serabutan. Ia lebih sering bekerja sebagai kuli harian lepas.
Hidup di pinggir rel pun tentu tak senyaman yang dibayangkan. Ancaman bahaya selalu mengincar keluarga Waluyo.
Anak Waluyo, Jannah (4) membentur bemper kereta. Beruntung kereta sedang tak berjalan. Anak Waluyo hampir bertemu malaikat maut.
Setiap hari, keluarga Waluyo menghabiskan sore di pinggir rel kereta Manggarai.
Kemiskinan yang dialami keluarga Waluyo adalah potret nyata kehidupan orang pinggiran Jakarta yang termarjinalkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.