Selain itu, posisi sebagai Komisaris Independen di Electronic City pada usia 35 tahun membuktikan umur dan gender bukan halangan untuk berprestasi.
Diakui Tisha, baik saat masih berkecimpung di manajemen sepak bola maupun saat ini perusahaan, tantangan yang ia hadapi pada dasarnya sama.
"Yang saya pelajari, setiap level itu tantangannya hampir sama. Saya mulai dari lokal, akhirnya ke nasional dan internasional. Managing people itu selalu jadi tantangan," papar Tisha.
"Bagi saya, segala sesuatu itu harus ada rohnya. Kita bisa bikin barang sebagus apapun atau produk atau service sebagus apapun, kalau rohnya tidak ada, manusianya tidak bisa berkembang, sosok roh yang menaungi itu tidak ada, barang itu enggak akan hidup," lanjutnya.
Kendati sehari-hari lebih banyak berkutat di pekerjaannya sebagai Komisaris Independen, Tisha mengaku tidak bisa meninggalkan sepak bola.
"Sebagai Vice President, station saya tetap di Indonesia. Jadi, saya aktif di Electronic City. Jadi, secara langsung dan tidak langsung, pastinya di manapun saya berada kontribusi terhadap sepak bola sudah menjadi kewajiban saya sebagai salah satu insan sepak bola," katanya.
Tisha mengaku sudah berkecimpung di sepak bola sejak 2001, baik sebagai relawan maupun profesional.
"Jadi, sepak bola sudah menjadi bagian dari hidup saya," terangnya.
Baca juga: Akui Larang RS Buka Hasil Tes PCR ke Satgas, Rizieq Shihab: Nanti Diteror Buzzer
Sebagai perempuan dalam industri olahraga khususnya sepak bola, Tisha punya mimpi untuk dapat berkontribusi bagi masyarakat sekitar dan membangun Indonesia bersaing di dunia internasional.
Ia pun menyoroti bahwa ada banyak sektor bagi perempuan di sepak bola, termasuk untuk menghidupkan sepak bola wanita.
"Sepak bola wanita dan wanita dalam sepak bola itu dua hal yang berbeda. Kalau kita ngomongin wanita di dalam sepak bola itu sepak bola wanita termasuk di dalamnya," ujar Tisha.
"Jadi wanita dalam sepak bola itu ada yang berfungsi sebagai sektor swasta seperti saya, ada pelatih, ada wasit, ada pemain. Ekosistemnya itu terbentuk," sambungnya.
Andai punya keleluasaan dalam mengembangkan sepak bola wanita di Indonesia, Tisha berpendapat bahwa ekosistem dan dasar dari sepak bola (grassroots) harus diatur terlebih dahulu.
Baca juga: Anies: 98 Persen Penduduk DKI Jakarta Telah Dilindungi BPJS Kesehatan
"Menurut saya, pengembangan sepak bola wanita itu harus dikembangkan secara fundamental, tidak berbeda dengan yang pria karena basisnya adalah olahraga yang sama," tukas Tisha.
"Pada saat kita bicara pengembangan sepak bola wanita, ilmu dasarnya ya ilmu sepak bola. Jadi pengembangannya itu memang tailor-made terhadap gender sebagaimana cabang-cabang olahraga lain yang nomor putrinya sudah lebih dulu maju, seperti bulutangkis putri, voli putri, dan sebagainya," lanjutnya.
"Memang pengelolaannya pasti berbeda, tapi core-nya itu tetap sepak bola. Jadi, saya pengin ekosistem perempuan di dalam sepak bolanya yang juga musti dibenahi terlebih dahulu," sambung Tisha.
Ia meyakini, saat ekosistem telah terbangun, maka sepak bola wanita juga bisa terbangun.
"Banyak sekali kalau kita lihat di luar (negeri), pengembangan sepak bola wanita dimulai dulu dari pelatih pria. Lalu, mulai pemberdayaan guru-guru atau pelatih-pelatih wanita," kata Tisha.
"Dari sejak usia dini, mungkin 17-18 tahun, seharusnya sudah mulai ada putri yang mengambil lisensi kepelatihan D (paling dasar) untuk bisa mereka mengerti fundamental sepak bolanya dulu. Jadi, harus dimulai dari grassroots," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.