Harkristuti menyebut, DGB UI pernah mengirim 3 orang perwakilan untuk mengikuti proses penyusunan revisi Statuta UI hingga terakhir kali pada 30 September 2020, dalam sebuah rapat di Kemendikbudristek.
Baca juga: Soal Revisi Statuta UI, Dewan Guru Besar Ungkap Ada Penyimpangan Prosedur
Ia berujar, para guru besar itu sebetulnya tidak melihat ada urgensi atau alasan untuk merevisi Statuta UI.
"Tapi, karena diminta, ya kami sekadar menyempurnakan. Prinsip check and balance dan good university governance tetap dipertahankan," jelas ahli hukum pidana itu.
Pasal-pasal bermasalah yang saat ini muncul pun belum dibahas saat itu, kata Harkristuti, sehingga DGB UI tak tahu-menahu sampai pasal-pasal kontroversial hasil revisi itu muncul dan ditandatangani presiden.
"Pada 19 Juli 2021, DGB UI tiba-tiba menerima salinan PP Nomor 75 Tahun 2021. Setelah diamati, DGB UI berkesimpulan bahwa penerbitan tersebut tanpa mengikuti proses pembahasan RPP (revisi PP)," ujar Harkristuti.
"... baik di internal UI bersama 3 organ lainnya (Rektor, Majelis Wali Amanat) dan Senat Akademik, maupun rapat-rapat di Kemenristekdikti, di Kemkumham dan di Sekretariat Negara, antara bulan Oktober 2020 sampai terbitnya PP pada Juli 2021," ia menjelaskan.
Cacat materiil: munculnya ketentuan bermasalah
Selama ini, ketentuan kontroversial yang disorot oleh publik hanyalah penghapusan larangan rangkap jabatan komisaris di BUMN bagi Rektor UI.
Tapi, DGB sebagai salah satu dari 4 organ UI selain Rektor, Majelis Wali Amanat (MWA), serta Senat Akademik, menyoroti munculnya permasalahan dalam ketentuan baru dalam Statuta UI hasil revisi.
"DGB UI dalam rapat pleno 23 Juli sudah membahas daftar inventarisasi masalah dalam PP Nomor 75 Tahun 2021," ujar Harkristuti.
DGB UI memang menyoriti perubahan larangan rangkap jabatan rektor atau wakil rektor dari semula "pejabat pada BUMN/BUMD" menjadi "direksi pada BUMN/BUMD".
Baca juga: Jokowi Diminta Batalkan Revisi Statuta UI karena Bertentangan dengan UU
Tapi, masalah lainnya yakni, Statuta UI hasil revisi ternyata juga mengurangi kewajiban UI mengalokasikan dana bantuan bagi mahasiswa tidak mampu, kecuali mereka yang memiliki prestasi akademik tinggi.
Lalu, melalui revisi Statuta UI, rektor jadi berhak mengangkat/memberhentikan jabatan akademik, termasuk jabatan fungsional peneliti, lektor kepala, dan guru besar.
Pemilihan rektor yang mulanya dilakukan oleh MWA melalui panitia yang berasal dari kelompok stakeholder UI dengan persyaratan tertentu pun diganti. Pemilihan rektor sekarang diserahkan sepenuhnya kepada MWA.
Di saat yang sama, Statuta UI hasil revisi Jokowi turut menghapus syarat nonanggota partai politik untuk menjadi anggota MWA.