JAKARTA, KOMPAS.com - Jauh sebelum daerah Kwitang di Jakarta dipenuhi oleh bangunan rumah, toko, dan gedung perkantoran, di sana tinggal sebuah keluarga betawi yang cukup berada.
Sang kepala keluarga, Marzuki, memiliki bisnis bengkel mobil. Ia tinggal bersama anaknya, Ismail, yang lahir pada 11 Mei 1914. Kelak, nama sang ayah melekat pada namanya, menjadi Ismail Marzuki.
Ibunda Ismail meninggal sejak ia kecil.
Baca juga: Mengenal Sosok Ismail Marzuki, Maestro Itu Tak Pernah Merasakan Kasih Sayang Ibu
Selain lihai dalam urusan kunci inggris dan oli, Marzuki rupanya juga piawai dalam melantunkan dzikir dan menabuh rebana.
Tak heran, Marzuki yang memiliki cengkok khas kemudian diundang tampil di acara sunatan, perayaan pernikahan, dan lain sebagainya.
Kemampuan seni ini lah yang diturunkan kepada anaknya, Ismail.
Sejak usia dini, Ismail yang memiliki nama kecil Ma’ing, rajin mengasah kemampuannya dalam bermusik.
Ia bahkan menjadi anggota perkumpulan musik Lief Java, yang sebelumnya bernama Rukun Anggawe Santoso.
Baca juga: Saat Sang Ayah Tampil di Google Doodle, Anak Ismail Marzuki Hidup dalam Impitan Ekonomi
Dalam perkumpulan ini bakatnya berkembang dengan baik sebagai instrumentalis, penyanyi, penyair, dan juga pengarang lagu.
Jika sebagian orang hanya mendengarkan lagu yang senatiasa baru, Ismail Marzuki senang mendengarkan sebuah lagu secara berulang-ulang dan meresapinya.
Bukan cuma musik Hollywod dan jazz, ia juga menjadikan lagu-lagu daerah sebagai sumber inspirasi dalam bermusik.
Lagu dari daerah Maluku, Minahasa, Bugis, Melayu, Minang, serta lagu-lagu ciptaan komponis agung bangsa Eropa dari Schubert, Mozart, Schumann, dan Mendellshon menjadi sumber keindahan baginya.
Baca juga: Anggaran Formula E Diketok 2 Minggu Sebelum DPRD 2019-2024 Dilantik
Semasa hidupnya, Ismail Marzuki menghasilkan ratusan karya, baik hasil ciptaannya sendiri ataupun lagu yang ia aransemen ulang.
Beberapa diantaranya adalah Rayuan Pulau Kelapa, Halo-halo Bandung, Mars Arek-arek Surabaya, Indonesia Tanah Pustaka, dan Gugur Bunga di Taman Bhakti, sebagaimana dilansir dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id.
Sang maestro meninggal pada 25 Mei 1958 karena sakit paru-paru. Ismail mengembuskan napas terakhirnya di pangkuan sang istri dengan disaksikan anak semata wayangnya.
Lima bulan sebelum meninggal, Ismail sempat menyelesaikan lagu terakhirnya, “Inikah Bahagia” dengan lirik sebagai berikut:
Bila nanti lara dan duka rawan kembali/ Dari pada kosong hampa menantikan kasih/ Kau ‘kan dengar lagu - sajang/ Lagu kenangan sepi diambang sore.
Baca juga: Senyum Lebar Anies Saat Dipanggil Ahok di Acara Lapor Pak!
Sebagai bentuk penghargaa , namanya diabadikan sebagai nama pusat kesenian di Jakarta, Taman Ismail Marzuki, sejak 1968.
Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2004 lalu, pemerintah menganugerahkan Ismail Marzuki gelar Pahlawan Nasional, tulis Historia.id.
Pencapaiannya semasa hidup membuat masyarakat etnis Betawi begitu menghargai sosok Ismail Marzuki.
Belum lama ini, komunitas masyarakat Betawi mengusulkan penggantian nama jalan dengan nama tokoh Betawi, salah satunya adalah Ismail Marzuki.
Nama Ismail Marzuki diusulkan untuk menggantikan nama Jalan Cikini Raya di Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menilai usulan perubahan nama jalan tersebut sangat layak untuk dipertimbangkan secara serius.
"Usulan-usulan untuk menggunakan nama jalan dengan nama tokoh Betawi layak dipertimbangkan secara serius dengan berbagai konteks yang harus jadi pertimbangan," kata Anies pada kegiatan Webinar Perubahan Nama Jalan di Provinsi DKI Jakarta, Kamis (28/10/2021).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.