"Dulu pernah, banjir sampai ke dalam toko, pintu enggak bisa dibuka. Jadi barang-barang di dalam itu terkurung dan mereka jadi berputar-putar di dalam seperti blender. Jadinya saling berbenturan. Pecahlah," kata dia.
Dari barang elektronik jadi rongsok
Daeng mengatakan, banjir yang terjadi beberapa tahun terakhir kerap membuat wilayahnya terendam air dengan ketinggian setengah hingga satu meter.
"Kontur tanah di sini itu seperti wadah baskom, jadi turun semua ke sini. Kalau hujan setengah jam saja, sudah susah motor lewat," katanya.
Namun, Daeng mengatakan bahwa banjir akhir-akhir ini lebih cepat surut, meski cepat naik.
"Kalau sekarang enak sih, kalau banjir, berhenti hujan, langsung surut. Karena langsung disedot kan," ucap Daeng.
Lain lagi ketika banjir hanya datang dalam periode lima tahunan.
"Kalau dulu zaman banjir lima tahunan, bisa sampai 1-2 meter. Sampai ke plafon pernah kena. Kalau dulu, banjir baru bisa surut sebulan. Bedanya dengan sekarang, enggak tinggi, tapi sering," kata Daeng sambil tertawa.
Ketika banjir mencapai plafon rumahnya, ia hanya bisa pasrah melihat seluruh barang elektroniknya tenggelam dalam air. Ia pun merelakan kerugian puluhan juta.
"Kalau total itu barang di sini bisa Rp 80 jutaan. Contoh harga TV bisa Rp 500.000 sampai Rp 800.000 per unit. Kalau dihitung semua bisa puluhan juta," kata dia.
Barang yang rusak karena banjir, tidak lagi bisa ia jual. Ia hanya bisa menjual mesin TV ke lapak rongsok.
"Kalau kerugiannya, bisa sekitar Rp 50 jutaan ruginya. Karena barang yang rusak kita jadi jual sebagai rongsok. Kalau ditimbang Rp 3.000 per kilogram. TV cuma bisa diambil tembaganya, jadi dapat total Rp 30.000 per TV. Dari yang seharusnya Rp 500.000, bisa jadi Rp 30.000, gara-gara banjir," jelas Daeng.
Namun, beberapa barang seperti kipas, mesin cuci, dan kloset duduk, yang tidak pecah, masih bisa ia jual. Sebab, ketiga barang itu, tidak rawan karat.
Sulit jadi pengungsi
Daeng bersyukur banjir yang datang di tempatnya tidak lagi separah dahulu. Ia pun mengapresiasi upaya pemasangan saluran dengan u-ditch di pinggir jalan, termasuk penyedotan air ketika banjir.
Namun, Daeng masih berharap agar banjir tidak lagi terjadi. Sebab ia cukup kesulitan jika hidup di pengungsian.
"Kalau mengungsi itu jauh, di pasar atau di jembatan baru. Tapi,di pengungsian itu kalau ke toilet susah, di pengungsian ini harus bayar toilet, di pengungsian lainnya kadang toiletnya ditutup," jelas dia.
Daeng mengatakan, sebenarnya ada bangunan umum di dekat wilayah terdampak banjir yang mumpuni untuk menampung pengungsi. Namun, para pengungsi kini tak diperkenankan masuk.
"Ada tempat yang cocok buat ngungsi dekat sini, tapi malah dikunci, enggak boleh masuk. Dulu padahal boleh. Heran juga, kita kan sedang kena musibah," pungkas Daeng.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.