Hubungan keluarga yang tidak harmonis, ketergantungan narkotika dan minuman beralkohol, masalah ekonomi serta pendidikan, kerap menghambat mereka yang ingin berbenah.
“Ketika mereka mencapai titik lelah di jalanan, mau balik ke kampung sudah bertato, tidak diterima, mau pulang sudah tidak diterima, mau lanjutkan sekolah juga tidak bisa,” kata Halim.
Setelah kegiatan komunitasnya itu berjalan sekitar dua tahun, Halim memutuskan untuk mencari tempat bagi para muridnya untuk belajar agama.
Halim merasa upayanya itu akan sia-sia jika mereka tetap berada di jalanan. Sebab, tidak mudah untuk menghindari pengaruh buruk yang muncul.
Lagipula, Ia juga tidak ingin kegiatannya itu hanya menjadi tontonan bagi banyak orang dan akhirnya menimbulkan perasaan narsistik dalam dirinya.
Kantor usaha penerbitan buku yang ia miliki di daerah Ciputat sempat menjadi rumah bagi sekitar lima belas muridnya. Mereka belajar berhimpun ala pesantren.
Kemudian, pada pertengahan 2020, Halim berhasil mengumpulkan dana untuk menyewa ruko yang kini menjadi tempat belajar bagi sekitar 40 santrinya.
“Selama ini mereka ingin berbenah, tapi tidak ada yang membimbing,” kata Halim.
Halim ingin hadir di tengah mereka sebagai bapak, guru, dan sahabat. Tiga peran ini yang selalu ia mainkan ketika merangkul mereka yang terpinggirkan.
Sebagai bapak, Halim selalu berupaya membela, mendampingi, dan mengayomi para muridnya ketika bermasalah.
Seringkali ia menjadi penengah ketika terjadi konflik antarkelompok atau membela anak-anaknya saat berurusan dengan dinas sosial maupun kepolisian.
Ketika menjadi guru, Halim menunjukkan mana yang benar dan salah, tak hanya dengan ucapan tetapi juga perbuatan.
Peran sebagai sahabat adalah cara yang paling sederhana namun ampuh untuk menjalin kedekatan dengan anak-anak didiknya.
Halim memberikan pelajaran hidup dengan cara berbagi, entah perasaan ataupun pengalaman. Ia tak ingin menasihati tetapi memilih menjadi pendengar yang baik.
“Dari sini saya mendapat trust dari mereka. Ketika saya menjadi sahabatnya, semua akan menjadi lebih mudah,” ucapnya.
“Qalbul Mukmin Baitullah. Hati seorang mukmin adalah rumah Allah.”
Ustaz lulusan jurusan Akidah dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan jurusan Sejarah Peradaban Islam, ISTAC-Universitas Islam Antarbangsa (UIA) Kuala Lumpur ini meyakini hati merupakan pintu masuk untuk berbenah.
Karena itu, Halim memilih ilmu Tasawuf sebagai peta jalan pulang. Alih-alih menggunakan istilah hijrah atau tobat, ia lebih memilih jalan pulang, yang artinya kembali mendekatkan diri kepada Tuhan dan keluarga.
Halim tidak mengajarkan agama kepada para santrinya secara hitam dan putih, melainkan lebih pada aspek batin dan pembinaan rohani.
Menurut dia, pembinaan mental spiritual seseorang yang harus lebih dahulu dilakukan.
“Tidak bisa, anak Punk yang sudah bertato, lalu kita bicara halal dan haram. Kalau pendekatannya itu, kapan kita mau berbenah?”