Terakhir penamaan “Jakarta International Stadium/JIS” menuai kontra lantaran tidak sesuai dengan Undang-Undang No 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Pasal 36 ayat 3 berbunyi, ”Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.”
Pihak yang pro mengungkapkan penamaan itu akan membuat Jakarta sejajar dengan kota-kota megapolitan lainnya di dunia. JIS terdengar lebih wah ketimbang SIJ (Stadion Internasional Jakarta)? Entahlah.
Sebagai brand (jenama), nama JIS mungkin lebih menjanjikan ketimbang SIJ. Kotler dan Keller (2016) mengungkapkan enam kriteria nama brand yang dapat menjadi pilihan.
Pertama, mudah diingat. Nama brand yang baik semestinya singkat dan mudah diucapkan sehingga dapat diingat konsumen. Penamaan “JIS” rasanya telah memenuhi syarat itu.
Kedua, memiliki arti. Nama brand yang bagus itu sepatutnya terkait langsung dengan kategori produk. Nama “JIS” hanya sebuah singkatan yang jika berdiri sendiri tidak memiliki arti.
Ketiga, disukai. Nah, penamaan “JIS” terdengar cukup estetik daripada “SIJ”.
Keempat, dapat diterjemahkan. Nama brand yang baik itu dapat diterjemahkan dan memiliki arti yang positif. Nama “JIS” hanya sebuah singkatan dan tidak dapat diterjemahkan.
Kelima, dapat beradaptasi. Brand dapat abadi dan mengikuti perkembangan zaman jika nama tersebut mampu beradaptasi dan terlihat modern. Pihak pro “JIS” pasti setuju nama ini dapat terus beradaptasi dalam dunia yang dinamis.
Keenam, dapat memperoleh perlindungan. Nama brand dapat memperoleh perlindungan HKI karena tidak generik atau berlaku umum.
Tiga kriteria pertama berperan membangun brand, sedangkan tiga berikutnya bersifat defensif dan membantu melestarikan brand ketika menghadapi tantangan zaman.
Terlepas dari itu semua, tampaknya kebanggaan sebagian warga negara Indonesia terhadap bahasa Indonesia patut diragukan, seperti juga kurangnya kebanggaan terhadap brand lokal ketimbang brand asing.
Tanpa bermaksud menyalahkan pihak manapun, momen hari Kebangkitan Nasional mungkin saat yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk merefleksi rasa kebangsaan yang tercermin dari sikap dan perilaku sehari-hari. Dari bagaimana berbahasa, berkomunikasi, pencantuman nama, dan lain-lain.
Kembali ke keluhan kolega dari Malaysia di awal tulisan ini, dia berpikir orang Indonesia sedemikian disiplin dan bangga dengan bahasa Indonesia sehingga tidak menyisakan ruang untuk bahasa asing sebagai petunjuk jalan. Mungkin ya, barangkali tidak.
Aha, belum tahu dia...
*Frangky Selamat, Dosen Tetap Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.