Selesai dengan pengabdian, Buya melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Surakarta.
Baca juga: Wapres: Keteladanan Buya Syafii Maarif Wajib Kita Teladani
Kala itu, terjadi pemberontakan PRRI/Permesta yang mengakibatkan hubungan Sumatera dan Jawa terputus. Akibatnya, bungsu dari empat bersaudara seibu seayah ini tidak bisa lagi mendapat bantuan biaya kuliah dari saudaranya.
Buya pun memutuskan untuk berhenti kuliah. Guna menyambung hidup, Buya Syafii menjadi guru desa di wilayah Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Setelah uang terkumpul, Buya Syafii melanjutkan pendidikannya di Jurusan Sejarah Universitas Cokroaminoto dan berhasil meraih gelar Sarjana Muda pada 1964.
Empat tahun kemudian, tepatnya pada 1968, Buya berhasil meraih gelar sarjana dari Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP.
Menekuni ilmu sejarah, Buya mengikuti program master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika Serikat (AS).
Buya Syafii juga meraih gelar doktor dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi "Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia".
Baca juga: Meneladan Kesederhanaan Buya Syafii Maarif, Hobi Bersepeda dan Naik KRL
Ahmad Syafii Maarif menjabat sebagai ketua umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005. Setelah tidak menjabat sebagai ketua umum, Buya Syafii aktif di Institute Maarif yang ia dirikan.
Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini juga rajin menulis dan menjadi pembicara di sejumlah seminar.
Tak hanya itu, Buya juga telah menerbitkan beberapa buku yang menjadi bukti buah pikirnya. Buku tersebut antara lain "Dinamika Islam" dan "Islam, Mengapa Tidak?" yang diterbitkan oleh Shalahuddin Press pada 1984.
Atas karya-karyanya, ia dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay dari Pemerintah Filipina pada 2008.
Buya di pemerintahan sebagai salah satu tokoh Islam yang independen.
Buya Syafii pernah mendapat tawaran dari Presiden Joko Widodo untuk mengisi posisi Dewan Pertimbangan Presiden.
Namun, penawaran pada 2015 tersebut ditolak oleh Buya Syafii. Pada tahun yang sama, Buya juga menjabat sebagai Ketua Independen yang mengatasi konflik antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.