Selain itu, Tri Wahyuning M. Irsyam (2017) juga pernah menulis tentang “Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950 – 1990-an”.
Sejarah Depok prakemerdekaan apalagi di saat masa sejarah kerajaan Nusantara masih belum ada yang mengungkapkannya.
Suatu ketika, saya pernah menggunakan jasa transportasi berbasis online. Sang pengemudi yang menjemput ke rumah berkisah kalau dirinya pernah mengantar warga Malaysia dari Bandara Soekarno Hatta menuju belakang perumahan tempat saya tinggal.
Warga Malaysia itu sedang dalam perjalanan khusus “merunut” sejarah keluarga besarnya untuk bisa berziarah ke Makam Ratu Pembayun yang berlokasi di belakang Perumahan Raffles Hills, Cibubur, Depok, Jawa Barat.
Setiap malam-malam tertentu dan hari-hari tertentu, Makam Putri Pabayunan yang dikenal warga setempat sebagai Makam Keramat Mbah Bayunan ramai diziarahi warga dari berbagai daerah dan negara, utamanya dari Malaysia dan Brunei Darussalam.
Dari penelusuran sejarah, makam keramat Mbah Bayun yang berlokasi di Cimanggis, Tapos, Depok adalah petilasan Ratu Ayu Pembayun Fatimah, istri dari Pangeran Jayakarta II atau Pangeran Tubagus Angke.
Sebagai putri dari Pangeran Jayakarta atau Fatahilah yang heroik mengusir penjajah Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta), Ratu Ayu Pembayun Fatimah bersama para pengawalnya melarikan diri dan mengungsi ke hutan-hutan lebat di sekitaran Depok yang kini dikenal dengan daerah Cibubur-Cimanggis-Tapos.
Bersama suaminya Pangeran Jayakarta II, Ratu Ayu Pembayun Fatimah ikut mengangkat senjata melawan Portugis, Inggris, dan Belanda di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Jan Pieterszoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629).
Di buku “Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta,” yang ditulis oleh Pater Adolf Heuken, Pangeran Jayakarta II disebut oleh Inggris dan Belanda sebagai Regent of Jakarta atau “Koning van Jacatra.”
Kongsi dagang Hindia-Belanda yang mempraktikkan sistem monopoli yang licik dan merugikan warga, membuat Pangeran Jayakarta II murka.
Dalam konflik sepanjang tahun 1610 - 1619, Pangeran Jayakarta II mendapat bantuan pasukan dari Banten dan Cirebon.
Kalah dalam perang membuat Jan Pieterszoon Coen memilih kabur ke Ambon dan meminta tambahan pasukan.
Setelah mendapat drooping pasukan tambahan, Jan Pieterszoon Coen kembali menggempur Pangeran Jayakarta II dengan menggelorakan semboyan despereet niet atau “jangan putus asa”.
Akhirnya pasukan Jan Pieterszoon Coen berhasil mengalahkan pasukan koalisi Pangeran Jayakarta II dari Banten dan Cirebon.
Pangeran Jayakarta II berhasil mengelabui tentara kolonial Belanda dengan melepas jubah dan sorbannya, yang lantas dibuang ke dalam sebuah sumur.
Pasukan Belanda yang mengejar Pangeran Jayakarta II mengira bahwa Jayakarta II tewas setelah menembaki jubah dan sorban di sumur tersebut.
Kini sumur yang berada di Jalan Pangeran Jayakarta, Mangga Dua, Jakarta tempat Pangeran Jayakarta II melempar jubah dan sorbannya dikenal sebagai Makam Keramat Pangeran Jayakarta.
Meskipun kalah, sisa-sisa pasukan Pangeran Jayakarta II tetap melakukan perlawanan “hit and run” dan dari penelusuran lisan, Ratu Ayu Pembayun Fatimah gugur ditembak oleh kolonial Belanda di Jatinegara tahun 1625.
Selama mengungsi di daerah Cibubur-Cimanggis-Tapos, Ratu Ayu Pembayun Fatiumah juga menyebarkan agama Islam ke warga setempat (Merahputih.com, 14 Februari 2017).
Untuk mencari tahu siapa sebenarya Pangeran Jakarta yang mempunyai peranan penting dalam peristiwa sejarah perlawanan terhadap kompeni Belanda, buku “Pangeran Jakarta Wiajayakrama” yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta (1977) mengulas keterkaitan Putri Pabayunan dan Pangeran Jayakarta.
Pada Babad Banten, seringkali disebut julukan Pangeran Jakarta (Jakerta) dan sebutan lainnya Jayawikarta.
Pada bagian lain Badal Banten, ada yang menyebut nama Kawis Adimarta. Sedang pada Babad Cirebon hanyalah disebut dengan julukan Pangeran Jakerta.
Penyebutan-penyebutan itu mungkin tidak bedanya dengan julukan dari orang-orang Belanda atau Inggris yang menyebut Pangeran Jayakarta sebagai “conick” atau “regent Jacatta atau King of Jacatta".
Dari sumber-sumber babad tersebut yang dinamakan atau dijuluki Pangeran Jakerta Jayawikarta atau Kawis Adimarta ialah putra Tubagus (Ratu Bagus) Angke.
Tubagus Angke disebutkan memiliki pertalian darah dengan Banten akibat perkawinannya dengan puteri Maulana Hasanudin yang mendapat julukan Ratu Pembayun.