Pertalian kekeluargaan dengan perkawinan tersebut memperkuat hubungan antara kedua daerah kekuasaan Banten dan Jakarta yang menjadi vazad Banten.
Kedua daerah tersebut memang sudah sejak ayahnya Maulana Hasanudin yaitu Sunan Gunung Jati berada dalam satu daerah otoritas.
Bahkan pemberian kepercayaan dari Faletehan atau Sunan Gunung Jati kepada Tubagus Angke untuk memerintah Jayakarta dikarenakan Tubagus Angke sendiri masih kemenakan Maulana Bagdad atau Maulana Abdurahman sebagaimana diceritakan pada Babad Banten.
Padahal Maulana Abdurahman terhubung erat dengan dengan Sunan Gunung Jati seperti dalam Babad Banten dan Cirebon.
Dari babad-babad tersebut terutama babad Babad Banten diketahui bahwa putra Tubagus Angke, yaitu Pangeran Jayakarta menikah dengan puteri Pangeran Padjadjaran yang mendapat julukan Ratu Pembayun.
Silsilah hubungan perkawinan dan kekeluargaan antara raja-raja Banten dan Jakarta itu dapat dirunut dari daftar keturunan yang dibuat oleh Pangeran Purabaya.
Putra Sultan Ageng Tirtayasa tersebut menyerahkan daftar silsilah itu kepada Gubernur Jenderal Joan Van Hoon pada tanggal 23 Juli 1709.
Mengenai putra-putri Pangeran Jayakarta didapatkan pula nama-nama dalam Babad Banten meskipun kadang-kadang ada perbedaan, di antaranya putra-putri dari peminggir atau istri selir seperti Ratu Marta Kusuma, Ratu Martasari, Pangeran Arya Adikara dan Tubagus Arya Suta.
Dari penuturan warga yang berusia lanjut di awal perpindahan saya di Cibubur, saya kerap mendengar adanya sumur pancuran air dan telaga tempat mandi para putri kerajaan dan terus dikeramatkan hingga beberapa dekade lalu.
Sayangnya lokasi-lokasi tersebut kini digusur dan bersalin rupa menjadi kawasan pemukiman.
Agar sejarah bangsa ini utuh dan tidak lenyap, diperlukan penelusuran sejarah dari sumber-sumber lain yang diduga dapat memperkaya informasi tentang sejarah.
Jika penelusuran sejarah hanya didasarkan pada catatan atau dokumen tertulis, maka hal tersebut akan terus menjadi hambatan penelusuran berbagai sejarah negeri yang ada di wilayah Depok maupun belahan tanah air lainya.
Saya sebut hambatan karena masyarakat kita belum atau tidak aktif menuliskan sejarah-sejarah yang terjadi di sekitar mereka.
Jika sejarah hanya didasarkan pada dokumen tertulis, maka akan banyak kisah sejarah di negeri tidak memiliki sejarah.
Sejarah hanya akan menjadi milik negeri lain yang telah mengenal tradisi menulis. Bisa jadi kita menjadi terbiasa karena sejarah kita dituliskan oleh orang lain.
Sejarah tidak semata hanya berdasar dan merujuk melulu kepada dokumen tertulis. Jan Vansina (2015) dalam bukunya berjudul “Tradisi Lisan sebagai Sejarah” telah menegaskan bahwa tradisi lisan seperti tuturan rakyat, hikayat, cerita rakyat sangat berpotensi menjadi sejarah.
Sejarah bagi masyarakat yang jauh dari budaya menulis, galibnya terdokumentasi dalam ingatan atau memori lisan individu atau masyarakat.
Sejarah masyarakat biasanya berwujud dalam cerita rakyat, baik dalam sastra lisan seperti nyanyian rakyat, mitos, fabel, atau dongeng.
Sejarah tutur atau lisan umumnya dikisahkan dalam berbagai bentuk, yang kadangkala “dibumbui” dengan unsur gaib, mitos, fabel, dan sebagainya. Pada akhirnya kisah sejarah mirip seperti cerita fiksi nan seru.
Keberadaan sastra lisan dapat dikaji lebih lanjut untuk menemukan puzzle-puzzle dari sejarah suatu daerah.
Sastra lisan yang satu dapat direlasikan dengan sastra lisan yang lain untuk menemukan keterkaitan sejarah yang terdapat di berbagai sastra lisan.
Cerita serta kisah warga mengenai situs Candi Bojongemas di Bandung atau Makam Keramat Ratu Ayu Pembayun Fatimah di Cibubur terkandung “sejarah” yang dapat melengkapi keterbatasan sejarah tertulis saat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.