JAKARTA, KOMPAS.com - Kualitas udara di Jakarta masih menjadi persoalan sejak kemenangan gugatan Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi Ibu Kota) atas hak udara bersih di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 16 September 2021 lalu.
Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mengatakan, hingga saat ini belum ada perubahan kebijakan yang mendorong terciptanya udara bersih.
"Bisa dikatakan, kemenangan warga yang seharusnya mendapatkan hadiah berupa udara bersih, masih juga belum terpenuhi. Sebaliknya, kualitas udara di Ibu Kota malah makin buruk," ujar Bondan, dalam diskusi bertajuk Satu Tahun Berlalu, Kemenangan Gugatan Warga atas Hak Udara Bersih Masih Terampas, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (15/9/2022).
Baca juga: Peringati Setahun Kemenangan atas Gugatan Hak Udara Bersih, Koalisi Ibu Kota Demo di Balai Kota DKI
Bondan menuturkan, berdasarkan data Nafas Indonesia dalam kurun satu tahun terakhir, perbaikan kualitas udara di Jakarta hanya terjadi pada Desember 2021 atau pada saat musim hujan.
"Namun, memasuki musim kemarau (Juni sampai Juli 2022), nilai (particulate matter) PM2.5 kembali melonjak," ungkapnya.
PM2.5 merupakan polutan udara yang berukuran sangat kecil yakni 2,5 mikrometer. Bahayanya, polutan ini dapat menembus paru-paru dan dialirkan oleh pembuluh darah ke seluruh tubuh.
Pada 2013, WHO sendiri telah mengklasifikasikan PM2,5 sebagai zat penyebab kanker. Setelah lebih dari 15 tahun, pada 22 September lalu WHO juga merilis peraturan baru untuk menaikkan standar kualitas udara.
Standar nilai ambang batas baku mutu udara ambien untuk PM 2,5 yakni 15 mikrogram per meter kubik untuk batas harian dan 5 mikrogram untuk batas rata-rata tahunan.
Dari lima wilayah di Jakarta, tak ada satu pun yang menunjukkan nilai rata-rata tahunan PM2.5 sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).
"Sebaliknya, kelima wilayah DKI Jakarta telah melampaui rekomendasi WHO hingga 7,2 kali lipat," ucap Bondan.
Baca juga: Kualitas Udara di Ibu Kota Dinilai Masih Buruk, Pemprov DKI Disarankan Lakukan Ini
Bondan mengungkapkan, untuk wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara rata-rata PM2.5 tahunan masuk kategori moderate.
Sedangkan, wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat masuk kategori tidak sehat.
"Paling tinggi wilayah Jakarta Timur dengan rata-rata tahunan PM2.5 mencapai 44 mikrogram per meter kubik (µg/m³) atau melampaui rekomendasi WHO hingga 8,8 kali lipat," katanya.
Oleh sebab itu, Bondan menyayangkan para pihak tergugat, yakni pemerintah, belum maksimal dalam menjalankan kewajiban melindungi warga terkait hak atas udara bersih.
"Padahal, semakin banyak penelitian yang menemukan fakta bahwa polusi udara terbukti memberi dampak buruk pada fisik dan mental manusia, serta bisa memangkas harapan hidup manusia di seluruh dunia hingga 2,2 tahun," ucap Bondan.
"Kunci perubahan tetap berada di tangan pemerintah pusat, terutama sekarang, saat pemerintah daerah sudah memasuki status demisioner," sambung dia.
Adapun gugatan warga atas hak udara bersih itu diajukan pada 4 Juli 2019. Saat itu, sebanyak 32 warga menggugat sejumlah otoritas, termasuk Pemprov DKI, atas pelanggaran hak asasi manusia.
Pada 16 September 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan negara melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Putusan itu menghukum tergugat IV, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, untuk menghitung penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di DKI yang perlu dicapai sebagai dasar pertimbangan tergugat V, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dalam penyusunan strategi dan pengendalian pencemaran udara.
Atas putusan itu, Anies tak mengajukan banding.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.