KOMPAS.com edisi 5 Oktober 2022, memberitakan bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan banjir bukan permasalahan utama di Ibu Kota.
Namun, menurut Anies, permasalahan banjir di DKI Jakarta justru menjadi perbincangan utama di media sosial.
"Misalnya banjir di medsos jadi masalah, nyatanya dari RT kita ada 30.000, yang terkena banjir sekitar 30, it's not even one percent," kata Anies di Gedung Kompas Gramedia, Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (5/10/2022).
Baca juga: Anies: RT di Jakarta Ada 30.000, yang Kena Banjir 30, Its Not Even One Percent
Secara statistikal mungkin Gubernur Anies benar bahwa yang terdampak banjir hanya sekitar 30 RT di antara 30.000 RT di Jakarta yang berarti “hanya” sekitar satu persen belaka.
Berarti sekitar 30.000-30=29.970 RT tidak terdampak banjir, maka tidak berhak merasa menderita.
Namun dapat dibayangkan bagaimana berat beban derita yang dirasakan oleh para warga 30 RT yang terdampak banjir.
Sayang statistik terbatas berkisah kuantitas, namun tidak berkisah tentang kualitas derita para warga yang harus mengungsi akibat banjir atau derita warga yang jatuh sakit akibat terdampak banjir.
Bahkan tiga siswa meninggal dunia akibat tertimpa tembok sekolah yang roboh akibat banjir melanda ibu kota.
Statistik juga tidak berkisah tentang penderitaan para pengguna jalan yang terlambat masuk kerja mau pun pulang ke rumah masing-masing akibat lalu lintas macet total di segenap jalan protokol ibu kota yang terjadi akibat petaka banjir.
Mungkin bagi para warga ibu kota yang tidak merasakan derita akibat banjir memang merasa banjir bukan permasalahan utama ibu kota.
Tetapi bagi warga ibu kota yang secara langsung merasakan penderitaan akibat banjir jelas meyakini bahwa banjir merupakan permasalahan utama ibu kota.
Memang masalah menderita atau tidak menderita bukan konsepsual, tetapi kontekstual. Maka penderitaan secara kontekstual memang tidak mengutamakan permasalahan yang tidak dihadapi, namun mengutamakan permasalahan yang dihadapi.
Semisal, rakyat tergusur jelas mengutamakan permasalahan penggusuran sebagai prioritas yang wajib ditanggulangi oleh pemerintah. Namun mereka yang tidak tergusur malah mendukung penggusuran.
Rakyat yang tidak mampu membayar biaya kesehatan mengutamakan BPJS sebagai permasalahan utama yang harus diselenggarakan oleh pemerintah.
Namun BPJS tidak penting bagi rakyat yang mampu membayar biaya pelayanan kesehatan yang paling mahal pun.
Demikian pula permasalahan utama yang dihadapi oleh rakyat yang tidak mampu membayar biaya sekolah bagi anak-anak mereka memprioritaskan biaya pendidikan sebagai masalah utama yang wajib dihapus oleh pemerintah.
Sementara rakyat yang mampu membayar biaya sekolah malah memilih sekolah yang paling mahal tarifnya demi mendongkrak citra status sosial.
Namun pada saat bencana banjir terjadi adalah wajar bahwa pihak yang tidak terdampak tak peduli. Namun yang terdampak langsung mengutamakan banjir sebagai prioritas yang merupakan tanggung jawab pemerintah maka hukumnya wajib harus ditanggulangi oleh pemerintah.
Insya Allah, pemerintah peka terhadap penderitaan rakyat tanpa perlu menyimak statistik, namun murni menyimak kenyataan penderitaan rakyat sesuai makna luhur terkandung di dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dan Keadilan Sosial Untuk Seluruh Rakyat Indonesia. MERDEKA!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.