Sekarang, keluarga besar Kampung Tugu keturunan Portugis yang masih hidup merupakan generasi kedelapan.
Baca juga: Pengalaman Ikut Virtual Tour Kampung Tugu, Apa Menariknya?
Lebih kurang saat ini ada 300 keluarga keturunan Portugis yang masih tinggal di Kampung Tugu.
Buku berjudul Keroncong Tugu yang diterbitkan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta (2000) mencatat, orang keturunan Portugis masih memakai nama-nama leluhur mereka, seperti Abraham, Andreas, Cornelis, Michiels, Salomons, Saymons, Quiko, dan Browne.
Di Kampung Tugu, kini masyarakat hidup membaur dengan warga lain yang berasal dari berbagai komunitas.
Karena orang-orang lanjut usia yang bisa menggunakan bahasa Kreol Tugu sudah meninggal, sekarang tidak ada lagi generasi keturunan Portugis yang bisa menggunakan bahasa itu sehari-hari.
Baca juga: Makam Portugis dan Pejuang Kemerdekaan di Gereja Tugu
Gereja Tugu (GPIB Tugu) yang ada sekarang adalah gereja ketiga. Gereja sebelumnya yang dari papan kayu dan bilik telah rusak.
”Gereja ketiga ini pernah nyaris musnah diamuk massa saat kami menjadi korban Gedoran Tugu,” kata Johan Sopaheluwakan, anggota Ikatan Keluarga Besar Tugu, Yayasan Calouste Gulbenkian (Fundação Calouste Gulbenkian).
Gedoran Tugu terjadi pasca kemerdekaan Indonesia.
Saat itu, warga lokal menyita semua barang orang keturunan Portugis karena dianggap warga asing.
Berdasarkan catatan harian Kompas, Gereja Tugu dibuat dengan jendela-jendela besar khas arsitektur Eropa.
Di bagian depan bangunan ada teras dengan empat tiang penyangga yang dikelilingi pagar kayu berwarna coklat.
Baca juga: Jejak Portugis di Kampung Tugu
Atap Gereja Tugu dibuat meruncing ke atas sebagai simbol surga di atas langit. Gereja Tugu dibuat menghadap Sungai Cakung yang dulu jadi jalur transportasi utama warga lokal.
Selain bangunan gereja yang merupakan peninggalan sejarah, benda-benda yang ada di dalamnya juga memiliki nilai historis tinggi.
Salib dan mimbar pendeta, misalnya, terbuat dari kayu yang sudah ada sejak Gereja Tugu berdiri.
Di kanan dan kiri mimbar terdapat kursi kayu berwarna coklat untuk tempat duduk anggota majelis gereja dan kelompok paduan suara.
Di depan gereja ada lonceng (slavenbel) yang masih berfungsi.
Baca juga: Kuliner Warisan Portugis Ini Wajib Dicoba Saat Wisata ke Kampung Tugu
Slaff berarti ’budak’, sementara bel berarti ’lonceng’.
"Slavenbel dulu dipakai untuk memberi tanda kepada para pekerja Portugis kapan harus berkumpul untuk makan, berdoa, dan lainnya,” tutur ahli bahasa dan sejarah Belanda UI, Lilie Suratminto, dikutip dari Kompas.
(Kompas.com: Nicholas Ryan Aditya | Kompas: Denty Piawai Nastitie, Syaiful Rijal Yunus)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.