JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Institusi Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas mengkritik wacana pemerintah pusat untuk membedakan tarif kereta rel listrik (KRL) bagi warga mampu dan tidak mampu.
Ia menyoroti penggunaan kata "dasi" untuk warga mampu yang dilontarkan oleh Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi dalam sebuah konferensi pers pada akhir Desember 2022.
Secara harfiah, tutur Darmaningtyas, hampir tidak ada penumpang KRL di wilayah Jabodetabek dan Solo-Yogyakarta yang mengenakan dasi.
Namun, apabila "dasi" digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan golongan mampu, menurut Darmaningtyas, akan ada masalah terkait hal tersebut.
"Akan ada masalah (dalam) menentukan indikator dan seleksinya," ujar dia kepada Kompas.com, Senin (2/1/2023).
Baca juga: Tarif KRL Orang Kaya Bisa Tembus Rp 15.000, Warga: Mending buat Beli Bensin
Darmaningtyas menjelaskan, pemerintah perlu menentukan batas pendapatan untuk mengelompokkan masyarakat sebagai golongan mampu.
Akan tetapi, ada hal lain yang perlu diperhatikan, yakni pihak yang memverifikasi pengelompokan tersebut.
"Penghasilan berapa juta batasan pendapatan mereka yang dikelompokkan menjadi golongan mampu? Siapa yang akan melakukan verifikasi dan bagaimana mekanisme verifikasinya?" ujar Darmaningtyas.
Baca juga: Tarif KRL Orang Kaya Lebih Mahal, Warga: Uang Tak Cuma buat KRL Saja
Oleh karena itu, imbuh dia, gagasan untuk membedakan tarif KRL berdasarkan hal tersebut sulit diimplementasikan.
Sebab, kata Darmaningtyas, penerapan kebijakan untuk membedakan tarif KRL berdasarkan kemampuan berbeda dengan kebijakan untuk menaikkan tarif KRL.
"Berbeda dengan tarif dibuat naik secara merata, bagi mereka yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan subsidi," kata dia.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana untuk menerapkan subsidi silang dalam tarif KRL Jabodetabek.
Wacana dituturkan oleh Menhub Budi Karya Sumadi dalam sebuah konferensi pers, Selasa (27/12/2022).
Budi mengatakan, tarif KRL akan disesuaikan supaya subsidi lebih tepat sasaran.
”Dalam diskusi kemarin dengan Pak Presiden, kami akan pilah-pilah. Mereka yang berhaklah yang mendapatkan subsidi. Jadi, mereka yang tidak berhak harus membayar lebih besar, dengan membuat kartu,” kata Budi.
Baca juga: Kritik Wacana Tarif KRL Lebih Mahal bagi Orang Kaya, Warga: Langgar Prinsip Kesetaraan
Sebagai informasi, tarif asli KRL adalah sekitar Rp 10.000-Rp 15.000 untuk sekali perjalanan.
Namun, pemerintah pusat mengalokasikan subsidi pada kebijakan tarif yang sudah berlaku sekitar 5 tahun terakhir itu.
Walhasil, pengguna KRL di Jabodetabek hanya perlu membayar Rp 3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama, dan Rp 1.000 untuk setiap 10 km berikutnya.
Budi mengatakan, pihaknya berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo akan memilah-milah mereka yang lebih berhak untuk mendapat subsidi tarif KRL.
Dengan begitu, masyarakat yang memiliki kemampuan finansial lebih baik akan membayar lebih besar dari tarif normal KRL.
Menurut Budi, langkah ini bisa membuat subsidi lebih tepat sasaran.
"Jadi mereka yang tidak berhak harus membayar lebih besar dengan membuat kartu mereka yang bisa membayar karena kalau itu berhasil subsisi itu bisa kita berikan kepada sektor yang lain," ucap Budi.
Terkait kenaikan tarif KRL pada 2023, Budi memastikan bahwa hal tersebut tidak terjadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.