"Kalau orang yang gajinya Rp 15 juta per bulan juga pasti bakal protes sih kalau dia setiap harinya naik KRL. Misal Rp 20.000 PP setiap hari, ujung-ujungnya pasti mending beli kendaraan dan bikin macet Jakarta," kata Fida.
Ketua Institusi Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas turut menyuarakan kritik terkait wacana pembedaan tarif KRL bagi warga mampu dan tidak mampu.
Ia menyoroti penggunaan kata "dasi" untuk warga mampu yang dilontarkan oleh Menhub Budi.
Secara harfiah, tutur Darmaningtyas, hampir tidak ada penumpang KRL di wilayah Jabodetabek dan Solo-Yogyakarta yang mengenakan dasi.
Namun, apabila "dasi" digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan golongan mampu, menurut Darmaningtyas, akan ada masalah terkait hal tersebut.
"Akan ada masalah (dalam) menentukan indikator dan seleksinya," ujar dia.
Baca juga: Kritik Tarif KRL Lebih Mahal bagi Orang Kaya, Pengamat: Penentuan Indikatornya Akan Bermasalah
Darmaningtyas menjelaskan, pemerintah perlu menentukan batas pendapatan untuk mengelompokkan masyarakat sebagai golongan mampu.
Akan tetapi, ada hal lain yang perlu diperhatikan, yakni pihak yang memverifikasi pengelompokan tersebut.
"Penghasilan berapa juta batasan pendapatan mereka yang dikelompokkan menjadi golongan mampu? Siapa yang akan melakukan verifikasi dan bagaimana mekanisme verifikasinya?" ujar Darmaningtyas.
Oleh karena itu, imbuh dia, gagasan untuk membedakan tarif KRL berdasarkan hal tersebut sulit diimplementasikan.
Sebab, kata Darmaningtyas, penerapan kebijakan untuk membedakan tarif KRL berdasarkan kemampuan berbeda dengan kebijakan untuk menaikkan tarif KRL.
"Berbeda dengan tarif dibuat naik secara merata, bagi mereka yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan subsidi," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.