"Nanti yang naik KRL jadi ada strata sosial. Yang kartunya warna emas itu orang kaya, misalnya," terangnya.
Pengguna KRL yang turut menyuarakan penolakan adalah Nico (27).
Menurut dia, membedakan tarif bagi yang mampu dan tidak mampu tidak perlu dilakukan.
"Enggak perlu. Langgar prinsip kesetaraan. Kenapa hal yang udah efektif dibuat polemik sih?" paparnya.
Baca juga: Soal Penyesuaian Tarif KRL bagi Orang Kaya, MTI Nilai Lebih Baik Bedakan Ongkos pada Akhir Pekan
Nico pun meminta pihak yang berwenang, termasuk pihak KRL, untuk menjelaskan maksud dari rencana tersebut.
Senada dengan Fida dan Nico, Dharma (20) juga mengatakan hal yang serupa.
Ia menyarankan agar tarif tidak perlu dibedakan bagi pengguna KRL yang dianggap mampu dan tidak mampu.
"Kenapa harus dibedain? Kasian yang kurang mampu jadi merasa terlalu direndahin karena tarifnya enggak dinaikin, tapi kalau dinaikin juga kasian," ujar Dharma.
Dharma tidak menampik bahwa Rp 10.000-Rp 15.000 memang bukanlah nominal yang terlalu besar, kecuali bagi beberapa pengguna KRL termasuk dirinya.
Ini menjadi alasan Dharma meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali wacana kebijakan agar masyarakat tidak perlu mengeluarkan banyak uang selama perjalanan PP naik KRL.
"Misalnya jadi Rp 10.000-Rp 15.000, itu juga lumayan walau buat yang mampu. Soalnya uang enggak cuma buat keperluan naik KRL, ada kebutuhan lainnya," jelas Dharma.
Fida mempertanyakan cara pemerintah untuk membedakan “si kaya” dan “si miskin” di kalangan pengguna KRL.
"Masih rancu 'si kaya' ini sebatas mana. Kayak, pendapatannya yang lebih dari Rp 7 juta atau gimana?" tutur Fida.
Menurut dia, orang-orang bergaji Rp 6 juta sampai belasan juta rupiah pun dapat memprotes kebijakan tersebut.
Baca juga: Kritik Wacana Tarif KRL Lebih Mahal bagi Orang Kaya, Warga: Langgar Prinsip Kesetaraan
Sebab, biaya yang harus dikeluarkan untuk PP akan jauh lebih mahal dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi.