Misalnya, orang menyentuh bagian tubuh anak dengan jarinya dengan motif seksual, namun membahasakannya dengan perkataan bahwa ia sedang membersihkan tubuh sang anak. Dan sejenisnya.
Karena itulah, dalam kasus-kasus seperti yang dialami Malika, ada baiknya bila pemeriksaan secara lisan tidak dilakukan secara tergesa-gesa.
Anak-anak, bahkan orang dewasa sekali pun, membutuhkan waktu untuk dapat mengatasi ketakutannya lalu memulihkan kembali ingatan-ingatannya tentang apa yang ia lalui semasa diculik.
Juga, anak bisa diminta memperagakan saja—tidak usah menceritakan—perlakuan-perlakuan yang ia terima dengan alat bantu boneka, misalnya.
Akhirnya, Malika memberikan pelajaran penting bahwa kita semua bahwa memang perlu terus menemukan cara-cara terbaik guna menangkal anak-anak masuk ke dalam situasi yang menyedihkan sekaligus menakutkan seperti penculikan.
Di balik pelajaran itu, dengan tarikan napas berat, dibutuhkan kesadaran betapa kita selama ini masih belum cukup serius berusaha melindungi dan kemudian mempersatukan kembali anak-anak yang terlanjur dipaksa untuk berpisah dari orangtua mereka melalui penculikan.
Atas kealpaan itu, hanya satu kalimat yang dapat kita ucapkan: maafkan kami, Malika. Maafkan kami, puluhan anak yang masih terpaksa melalui masa-masa sunyi di kejauhan sana, karena belum berhasil ditemukan dan dibebaskan dari sang penculik
Semoga kasus Malika menjadi kisah yang dapat menginspirasi kita semua agar terus berikhtiar mempersatukan kembali anak-anak yang terlanjur dipaksa berpisah dari orang tua mereka.
Semoga.