JAKARTA, KOMPAS.com – Sejak tahun 1980-an, Kwitang, Jakarta Pusat, dikenal khalayak sebagai pusat penjualan buku-buku bekas. Popularitas pasar buku ini semakin melonjak sejak film Ada Apa dengan Cinta (2002) melakukan shooting di lokasi tersebut.
Sayangnya, tidak ada izin resmi yang dikatongi para pedagang buku kaki lima di sana. Akhirnya pada medio 2007-2008, pemerintah setempat melakukan penggusuran kawasan ini dengan alasan ketertiban.
Penggusuran "terpaksa" dilakukan karena banyak pedagang yang menjajakan buku kerap mengundang pengunjung sehingga memicu kemacetan.
“Sejak penggusuran itu, kami sudah minta lahan untuk para pedagang buku. Sudah bikin proposal ke wali kota (di 2008) tapi enggak ada tanggapan,” cerita Iwan (60), salah satu pedagang buku di Kwitang saat dihampiri Kompas.com, Rabu (01/02/2023).
Baca juga: Toko Restu Tak Pernah Lepas dari Sejarah dan Tradisi Pedagang Buku Kaki Lima di Kwitang
Pria kelahiran 1962 ini tampak resah saat menceritakan pengalamannya berkait permintaan para pedagang buku di Kwitang agar bisa bergabung dan berjualan di satu lahan.
“Kayak di Bandung ada Palasari (daerah pusat buku-buku bekas), masa di DKI enggak ada,” keluhnya.
Iwan hingga berada di satu titik di mana dia merasa percuma melakukan demonstrasi untuk memperjuangkan lahan bagi para pedagang buku.
“Demo percuma, ngabisin dana. Diterima, selanjutnya juga enggak ngerti. Kenyataannya sampai sekarang enggak ada. Sudah di masa lalu,” tuturnya.
Saat ini, para pedagang buku sudah berpencar, ada yang mengontrak sebuah gedung kecil di Kwitang dekat lampu merah Senen, ada yang ke Kenari, hingga ke basement di Blok M.
Baca juga: Bukan Tutup Permanen, Pasar Kue Subuh Senen Jaya Direlokasi ke Tempat Baru
Para pedagang yang masih berjualan di Kwitang terdiri dari lima orang. Gedung kecil itu dibagi ke dalam lima kavling, dengan jualannya masing-masing. Namun, pengunjung bisa menggabungkan pembayaran mereka sekaligus.
Salah satu pedagang di Toko Buku Restu, Subhil (53), menjelaskan bahwa setiap bulannya, para pedagang yang menyewa tempat di gedung itu harus membayar iuran kontrak sebesar Rp 1.500.000 untuk bagian depan, dan Rp1.250.000 di bagian belakang.
Terkait keputusan untuk mengontrak lahan, Subhil menjelaskan dirinya masih merasa jauh dari berhasil.
“Namanya juga pedagang kaki. Parameter berhasil saya hidup mapan, toko milik sendiri, gedung milik sendiri. Tapi, yang begini kita syukuri. Bisa berusaha nyaman, enggak dikejar-kejar kangtib, enggak panas-panas dan hujan-hujan, bisa bawa pulang sesuatu buat anak istri,” paparnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.