JAKARTA, KOMPAS.com - Tak kenal lelah demi anak dan istri menjadi kalimat yang pantas ditujukan untuk Danuji (52) porter di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Dari pekerjaan itu, Danuji bisa menghidupi anak dan istrinya yang hidup di kampung halamannya, tepatnya di Brebes, Jawa Tengah.
Sejak tahun 1990, Danuji masih setia bekerja sebagai porter atau kuli angkut barang-barang milik penumpang kereta api.
"Saya masuk menjadi porter itu tahun 1990, saya masih muda, saat itu saya sudah menikah. Saya menikah 1989," kata Danuji saat meluangkan waktu untuk bercerita dengan Kompas.com, di Stasiun Pasar Senen, Senin (13/3/2023).
Baca juga: Kisah Kuli Angkut di Pelabuhan Sunda Kelapa, Kerja Sepagi Mungkin demi Bayaran Lebih Besar
Danuji masih ingat betul tanggal, bulan, dan tahun saat dia mulai bekerja menjadi porter.
"Tahun 1990, bulan 5, tanggal 11, masih ingat saya. Saya masuk menjadi porter," katanya.
Jauh dari anak dan istri tidak menjadi penghalang untuk Danuji yang setiap harinya mengangkut puluhan kilogram barang bawaan penumpang.
Di Jakarta, Danuji tinggal di sebuah kontrakan. Dia sengaja tidak mengajak istri dan anak ke Ibu Kota. Alasannya, biaya hidup yang mahal.
"Saya aslinya Jawa Tengah, Brebes, saya di sini itu ngontrak. Anak dan istri di kampung, kalau di sini kan repot ya, buat makan, bayar kontrakan," ujar Danuji.
Setiap harinya, Danuji berjalan kaki selama 10 menit dari kontrakannya, menuju Stasiun Pasar Senen.
Baca juga: Kuli Angkut di Pelabuhan Sunda Kelapa Rugi Besar di Kala Musim Hujan
Danuji mulai bekerja pukul 07.00 sampai 19.00 WIB. Selama 12 jam itu, tak tentu berapa pendapatannya.
Karena pendapatan yang tidak pasti, terkadang Danuji tidak bisa kembali ke kampung halamannya.
"Kalau pulang ke Jawa Tengah itu saya tergantung pendapatannya dan rezekinya karena kan kalau porter itu kan enggak tentu dapat uangnya. Tergantung keramaian," katanya.
Di tengah ceritanya, Danuji mengaku baru mendapat penumpang tiga kali sampai pukul 12.00 WIB.
Porter tidak mematok tarif. Danuji biasa mendapat Rp 15.000 dan paling besar Rp 30.000. Jarang penumpang memberi Rp 50.000.
"Kalau jadi porter itu enggak ditarif tapi memang seikhlasnya. Kadang-kadang orang ya kasih Rp 30.000, Rp 25.000, kadang ada Rp 50.000 tapi jarang, paling banyak Rp 20.000," ujarnya.
Baca juga: Pengendara Motor Tewas Tertabrak Bus Transjakarta di Cempaka Putih
Sebagian penghasilan, selain untuk makan, Danuji memberikannya kepada istri dan anak di kampung.
Danuji bersyukur bisa menghidupi keluarganya, terutama menyekolahkan anaknya hingga lulus SMA.
"Kalau menjamin atau tidaknya itu pas-pasan, yang penting untuk sekolah anak. Alhamdulillah anak kedua sudah mau lulus SMA, yang pertama setelah lulus, bekerja jadi cleaning service di Stasiun ini," ujar Danuji.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.