HARI-hari belakangan banyak warga Jakarta makin mengeluhkan kondisi udara yang memburuk. Jika kita berkendara roda dua, maka akan sangat terasa sekali bedanya jika kita tak memakai masker. Udara di jalanan membuat dada terasa sesak napas.
Berdasarkan data dari IQAir, kualitas udara di Jakarta terburuk ketiga di dunia pada Selasa (6/6/2023) pukul 09.40 WIB.
Indeks kualitas udara di Jakarta berada di angka 152 dengan polutan utamanya, yakni PM 2,5 dan nilai konsentrasi 57 µg/m³ (mikrogram per meter kubik) (katadata;2023). Padahal tahun 2021 masih peringkat 9.
Apakah pemerintah DKI Jakarta gagal menuju target 30 persen net zero emisi?
Tak bisa dibayangkan jika bayi-bayi ikut para orangtuanya menyusuri jalanan ibu kota dengan mengendarai sepeda motor. Mereka tak biasa berteriak, selain cuma bisa menangis.
Faktanya, sebanyak 75 persen polusi udara Jakarta berasal dari emisi kendaraan bermotor roda dua dan roda empat.
Padahal pemerintah DKI Jakarta sejak lama memiliki target ambisius menurunkan emisi karbon atau gas rumah kaca (GRK) 30 persen-50 persen pada 2030, menuju tercapainya target net zero emission atau nol emisi karbon Jakarta pada 2050. Bagaimana kelanjutannya saat ini?
Upaya “membersihkan” udara Jakarta sudah makin mendesak. Dua tahun pandemi menjadi “keuntungan” membersihkan kota Jakarta karena kebijakan pembatasan aktifitas sosial membuat jalanan sedikit lebih sunyi dari biasanya.
Namun pasca-"new normal" semua kembali seperti semula, bahkan makin buruk. Krisis iklim menjadi semacam alarm peringatan kepada seluruh pemangku kepentingan agar mereka memiliki rasa urgensi yang sama mendorong berkurangnya emisi.
Kini berbagai insiatif mencapai Masyarakat Rendah Karbon tahun 2050 dilakukan, seperti regulasi pengembangan sistem dan membuka jalan menuju nol emisi karbon.
Pemasangan panel surya di atap gedung milik pemerintah, sekolah, pelayanan kesehatan, rumah sakit, dan olahraga serta gedung-gedung swasta.
Dan komitmen untuk mencapai 50 persen armada Bus Transjakarta bebas bahan bakar fosil pada 2025 dan beralih ke penggunaan bus listrik. Mengingat, Jakarta sebagai daerah pertama yang memberlakukan krisis iklim sebagai bencana dan krisis yang nyata.
Di luar wacana pindah ibu kota, jadi atau tidak jadi pindah, barangkali Jakarta harus mulai memikirkan kembali pentingnya membuat banyak connector parks, ruang teduh dalam kota yang tidak terputus.
Connector parks adalah bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH). Apa pentingnya connector parks bagi sebuah kota?
Selain sebagai peredam polusi bising suara, juga menjadi pengendali perkembangan kota yang jor-joran hingga terjadi peluberan kota (urban sprawl).
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.